Mohon tunggu...
Kent Audric
Kent Audric Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukum Indonesia: Bawah Selalu Terinjak, Atas Tak Pernah Tersentuh

20 November 2018   15:17 Diperbarui: 20 November 2018   15:32 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen ketiga disahkan pada 10 November 2001, seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan persamaan di depan hukum. 

Akan tetapi, sepertinya seolah-olah para penegak hukum di Indonesia lupa akan pentingnya kedua hal itu. Persamaan di depan hukum sebagaiman ditekankan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 amandemen IV yang berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya", seolah-olah dapat dianulir bila seseorang berkuasa dan ber-uang. 

Ayat tersebut seolah-olah sudah diubah menjadi "...dengan perkecualian orang-orang berkuasa dan memiliki uang banyak."  Para pejabat dan konglomerat seperti ditempatkan di atas hukum itu sendiri, padahal mereka temasuk warga negara yang seharusnya bersamaan kedudukannya di depan hukum. 

Ketidakadilan dan ketidaksamaan di mata hukum ini dapat terlihat di kasus-kasus para pembesar yang sempat "booming" di awal tapi kemudian hilang, lenyap, dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga sekarang ataupun vonis hakimyang terlalu"ringan" bagi para terdakwa yang sudah jelas melakukan pelanggaran berat. 

Ambil contoh saja kasus Harry Tanoesoedibjo, CEO MNC Group dan Ketua Perindo, yang mengancam Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto melalui pesan singkat. Kasus yang terjadi pada pertengahan tahun 2017 itu seolah-olah hilang tanpa ada perkembangan terbaru dan tanpa ada berita, ditambah sng tersangka merupakan "raja media." 

Contoh kasus-kasus lainnya adalah kasus-kasus kecelakaan yang melibatkan para public figure atau anak mereka. Kasus putra bungsu Rasyid Amrullah Rajasa, putra bungsu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada saat itu, seolah-olah terhapuskan dari ingatan masyarakat sekarang. 

Rasyid yang pada saat itu terbukti melanggar Pasal 310 Ayat (2) dan (4) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 Tahun 2009 yang berisi tentang pelanggaran pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan dengan korban luka dan meninggal hanya mendapat hukuman yang sangat ringan yaitu pidana penjara 5 bulan atau denda Rp12 juta dengan masa percoaan 12 bulan yang praktis bagi Rasyid sama dengan bebas. 

Rasyid yang telah menghilangkan nyawa dua orang di mana salah satunya adalah bayi berusia satu setengah tahun, hanya mendapatkan vonis ringan dari hakim karena mempertimbangkan "Restorative Justice" di mana Rasyid berjanji akan bertanggung jawab terhadap keluarga korban dan menyantuni mereka yang saya rasa tidak sebanding dengan kesalahan yang ia lakukan melihat kondisi ekonomi keluarganya yang jelas sangat mudah untuk hanya sekadar "menyantuni".

Kasus Dul, putra bungsu Ahmad Dhani dan Maia Estianty,  yang menewaskan 7 orang dalam kecelakan maut juga seakan hilang dari ingatan masyarakat. Tindakan menghilangkan 7 nyawa menurut saya walaupun dilakukan oleh anak di bawah umur setidak-tidaknya harus mendapat hukuman yang setimpal dan tidak dapat hanya langsung bebas begitu saja.

 Dul yang pada saat itu dijerat dengan Pasal 310 Ayat (2), (3), dan (4) UU Lalu Lintas masih berumur 13 tahun sehingga dengan pertimbangan anak masih di bawah umur dan keluarga terdakwa telah berdamai dengan keluarga korban maka Dul hanya divonis hakim dikembalikan kepada orang tuanya. Melihat kedua penyelesaian dari kedua kasus tersebut menimbulkan suatu tanda tanya besar bagi saya. 

Apakah tindakan menghilangkan nyawa orang begitu tidak pentingnya? Bagi terdakwa yang berkuasa dan ber-uang tentu sangatlah mudah bagi mereka mencapai kata "damai" dengan keluarga korban, apalagi bila korban berasal dari masyarakat biasa. Dengan segala daya dan uang mereka dapat membuat keluarga korban berkata "damai". Akan tetapi, bagi saya hal tersebut tidak dapat diterima oleh moral dan keadilan. 

Bila dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya, kasus-kasus di atas seakan menjadi anomali. Lihat saja kasus Nenek Asyani, wanita tua asal Situbondo, Jawa Timur, yang terpaksa mendapat hukuman 5 tahun penjara karena dianggap majelis hakim terbukti "bersalah" mencuri 7 batang kayu jati milik Perum Perhutani. Padahal, mungkin kasus ini hanya sebuah kesalahpahaman saja, 

Nenek Asyani merasa bahwa 7 batang kayu jati itu tumbuh di lahan miliknya dan ia pun memiliki bukti kepemilkan tanah lahan tersebut.  Walaupun demikian, Nenek Asyani tetap dijerat dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 Undang-Undang (UU) Tahun 2013 tentang Illegal Logging. Saya merasa bahwa ini sungguh keterlaluan, pasal mengenai illegal logging seharusnya dikenakan pada terdakwa yang memang benar-benar merugikan negara dan para mafia perhutanan, bukannya pada seorang nenek tua yang sudah renta yang mengambil 7 batang kayu jati yang memang notabene tumbuh di lahannya sendiri.  

Seharusnya, para penegak hukum dapat menyelediki lebih dalam lagi dan mereka dapat lebih mengutamakan "Restorative Justice" yang mengutamakan penyelesaisan secara damai melihat umur terdakwa yang sudah sangat tua bukannya "Retributive Justice" yang terus mencecar dan mencari kesalahan serta lebih mengutamakan hukuman penjara bagi terdakwa. Inilah yang menurut saya menjadi anomali. 

Di mana "Restorative Justice" sangat dikedepankan saat kasus Rasyid Rajassa sementara saat kasus Nenek Asyani para penegak hukum lebih mengedepankan "Retributive Justice". Bila dilihat dari besarnya kesalahan dan rasa keadilan tentu hal ini menjadi sangat terbalik.

Kemudian kita juga dapat melihat bagaimana proses hukum di Indonesia lebih berpihak pada "pembesar" dibandingkan "bawahan"-nya pada kasus Baiq Nurul. Ia harus mendekam di penjara selama 6 bulan dan membayar denda Rp 500 juta dikarenakan ia melaporkan tindakan asusila atasannya. 

Ia yang pada saat itu bekerja sebagai staf honorer di SMAN 7 Mataram kerap kali merasa terganggu karena atasannya Muslim, Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, kerap memintanya mendengarkan cerita hubungan perselingkuhannya dengan wanita lain. Ia pun merekamnya dan temannya kemudian menyebarkannya. Akan tetapi, naas bukannya ia mendapat keadilan ia malah dilaporkan oleh atasannya. Ia dilaporkan melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan percakapan asusila atasannya. Walaupun ia dinyatakan bebas di Pengadilan Negeri Mataram tetapi, jaksa mengajukan banding. 

Hingga akhirnya kasus ini jatuh ke tangan MA. MA entah mengapa memutuskan bahwa Baiq Nurul bersalah. Melihat putusan MA merupakan putusan kasasi yang sudah final, ia harus mendekam di penjara. Beberapa contoh kasus inilah yang seolah-olah membuat hukum Indonesia terlihat tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. 

Saya juga menyadari bahwa pada kasus tabrakan maut yang melibatkan Dul, terdakwa masih sangat belia dan di bawah umur. Akan tetapi, alas an di bawah umur seharusnya tidak membuat seseorang dapat lari dari hukuman dan tanggung jawabnya. Banyak kasus tabrakan maut yang melibatkan anak di bawah umur hingga menyebabkan kematian tidak mendapatkan keadilan. 

Melihat bahwa biasanya anak di bawah umur yang diperbolehkan mempunyai/mengemudikan mobil  sendiri memiliki orang tua yang kaya/berpengaruh membuat pilihan jalan "damai" dengan keluarga korban lebih sering ditempuh. Mungkin hal inilah yang menyebabkan stigma seolah-olah anak di bawah umur tidak tersentuh hukum apalgi bila orang tuanya berpengaruh atau kaya. 

Menilik beberapa tahun belakangan ini banyak sekali terjadi kecelakaan akibat anak di bawah umur mengendarai kendaraan bermotor yang mungkin diakibatkan tidak lain tidak bukan oleh stigma tersebut. 

Penegak hukum di Indonesia seharusnya dapat mewujudkan "equality before the law", seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 yang berisi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". 

Dengan adanya hukum yang tegas tanpa pandang bulu, diharapkan warga negara akan berpikir dua kali sebelum melakukan sutu tindakan yang melanggar hukum. Hukum seharusnya memberikan keadilan bagi semua orang bukannya menjadi alat bagi beberapa pihak yang berkepentingan saja. Tidak ada yang namanya "pengecualian" di depan hukum. Bila hukum dilaksanakan sesuai apa yang diamanatkan UUD maka saya dapat menjamin bahwa sila ke V Pancasila yaitu "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dapat terwujudnyatakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun