Mohon tunggu...
Keishandita Ergitamanda
Keishandita Ergitamanda Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - -

-

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perjuangan Perempuan yang Dicekik Patriarki

18 Maret 2022   12:19 Diperbarui: 18 Maret 2022   12:23 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo by: goodreads.com

Perjuangan Perempuan yang Dicekik Patriarki

Judul Buku: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Pengarang: Dian Purnomo

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: 2021

Tebal halaman: 320 halaman

Harga Buku: Rp93.000

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam adalah novel ke-9 yang ditulis oleh Dian Purnomo setelah vakum selama 6 tahun. Novel ini dihasilkan setelah menerima grant Residensi Penulis Indonesia 2019 di Sumba. Dian Purnomo adalah penulis yang memiliki perhatian pada isu – isu sosial, khususnya perempuan dan perlindungan anak.

Dian Yuliasri, atau dikenal sebagai Dian Purnomo lahir di Kota Salatiga pada tangga 19 Juli 1976. Ia adalah sarjana Kriminologi UI dan dulunya merupakan pekerja radio di grup Prambors dan FeMale Radio. Belajar mengenai kriminologi khususnya tentang kekerasan berbasis gender dan perlindungan anak, membuat banyak perubahan pada karyanya. Karya pertamanya setelah vakum, Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam menjadi perwujudan perubahan tema dan warna pada karyanya.

Magi Diela diculik dan dijinakkan seperti binatang. Sirna sudah impiannya membangun Sumba. Kini dia harus melawan orangtua, seisi kampung, dan adat yang ingin merenggut kemerdekaannya sebagai perempuan. Ketika budaya memenjarakan hati Magi yang meronta, dia harus memilih sendiri nerakanya: meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri.

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ditulis berdasarkan pengalaman banyak perempuan korban kawin tangkap di Sumba. Tradisi kawin tangkap menggedor hati Dian Purnomo untuk menyuarakan jerit perempuan yang seolah tak terdengar oleh siapapun.

Warna merah jambu yang cerah dan ceria, sungguh bertolak belakang dengan emosi yang mendominasi novel ini. Marah, pilu, dan ngeri berkecamuk dalam diri saya saat membaca buku ini. Tema yang diangkat buku ini cukup tabu dan sensitif, mulai dari adat kawin tangkap di Sumba, patriarki, kekerasan seksual, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Semua tokoh digambarkan dengan sangat baik oleh penulis. Mulai dari Magi Diela sang tokoh utama yang kuat, cerdik, dan sedikit ‘gila’, Dangu Toda, sahabat Magi yang sangat suportif, hingga Leba Ali, lelaki paruh baya bermata keranjang yang memuakkan. Alur cerita juga berjalan cepat, selalu ada peristiwa yang terjadi, sehingga tidak membuat pembaca merasa bosan.

Novel ini ditulis dengan sangat baik, deskripsi setiap peristiwa digambarkan dengan sangat jelas dan rinci, sehingga dapat membuat kita sebagai pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh Magi. Berlatar tempat di Sumba dengan berbagai adat dan budayanya, membuat novel ini semakin kaya dan indah. Penulis bahkan mencantumkan banyak potret – potret Sumba, memudahkan kita sebagai pembaca untuk menyelami lebih dalam kehidupan Magi di tanah airnya. Narasi menggunakan bahasa yang mudah dipahami namun tetap indah untuk dibaca. Dialog banyak menggunakan bahasa sehari – hari masyarakat Sumba yang membuatnya terasa lebih realistis. Namun jangan kawathir, penulis juga mencantumkan arti kata – kata tersebut di dalam footnote.

Namun, bahkan dengan bantuan footnote, terkadang saya masih kesulitan mengartikan beberapa kata, sehingga harus kembali ke halaman – halaman sebelumnya untuk kembali membaca keterangan di footnote, tapi seiring berjalannya cerita, kita akan beradaptasi dan tidak akan kesulitan dalam memahami arti dialog – dialognya. Hal – hal tabu dan sensitif diceritakan secara gamblang dan amat deskriptif, yang tentunya bukan merupakan hal yang buruk. Namun deskripsi yang sangat eksplisit akan kekerasan seksual, bunuh diri, dan kekerasan dalam rumah tangga, mungkin akan membuat sebagian pembaca merasa tidak nyaman dan tentunya sangat triggering bagi penyintas kekerasan seksual dan pembaca yang memiliki trauma akan self-harm. Sehingga, alangkah baiknya jika terdapat penjelasan dan rincian atas trigger warning mengenai hal – hal tersebut, tidak hanya berupa tulisan trigger warning di sampul novel.

Buku ini sangat direkomendasikan bagi semua orang, untuk dapat membuka mata masyarakat bahwa masih banyak Magi – Magi lainnya, perempuan yang dijadikan objek dan tak bisa menentukan hidupnya sendiri karena patriarki. Perjuangan Magi yang amat luar biasa dapat menjadi pembangkit semangat bagi perempuan – perempuan lain di luar sana yang masih dicekik oleh patriarki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun