Mohon tunggu...
Keei Emmasya
Keei Emmasya Mohon Tunggu... Mahasiswi

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Evaluasi Politik Kasus Ahok: Polarisasi Sosial dan Dinamika Demokrasi Kita

23 Juni 2025   14:40 Diperbarui: 23 Juni 2025   14:34 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada tahun 2016 merupakan salah satu kasus politik terbesar yang memengaruhi arah demokrasi Indonesia pascareformasi. Peristiwa ini diawali dari pidato Ahok pada 27 September 2016 di Kepulauan Seribu yang mengatakan agar masyarakat tidak dibohongi dengan surah Al-Maidah ayat 51 dalam konteks pemilihan kepala daerah. Pernyataan tersebut kemudian diedit dan disebarluaskan dengan menghilangkan konteks dan memperkeruh makna ucapannya. Pada kenyataannya, jika video pidato dilihat secara utuh, Ahok bermaksud pada konteks politik, bukan agama. Dampak yang ditimbulkan dari potongan video ini sangat besar: memicu aksi protes bertahap, polarisasi masyarakat, hingga vonis dua tahun penjara bagi Ahok berdasarkan pasal penodaan agama (Amnesty International, 2017). Kasus ini menjadi titik kritis dalam dinamika hubungan antara politik, agama, media, dan hukum di Indonesia.

Permasalahan yang muncul dari kasus ini dapat diidentifikasi dalam beberapa aspek penting. Pertama, bagaimana politik identitas berbasis agama dapat digerakkan  secara besar-besaran dalam ruang publik. Kedua, bagaimana media memengaruhi persepsi dan opini publik secara signifikan melalui konstruksi naratif atau framing. Ketiga, bagaimana kerangka hukum seperti pasal 156a KUHP tentang penodaan agama masih digunakan dalam konteks demokrasi modern. Keempat, bagaimana pemerintah dan aparat penegak hukum merespons tekanan publik tanpa melanggar prinsip keadilan dan netralitas.

Untuk memahami fenomena ini, bisa dilihat melalui beberapa teori relevan. Teori framing media sebagaimana dijelaskan oleh Robert Entman (1993) menunjukkan bahwa media tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga menginterpretasikan dan membingkai peristiwa melalui sudut pandang tertentu. Dalam kasus Ahok, framing berita oleh media seperti Kompas dan Republika memiliki pengaruh besar terhadap persepsi publik (Mayasari, 2017). Selain itu, teori mobilisasi politik berbasis identitas menjelaskan bagaimana isu agama digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dukungan politik dan memperkuat kesatuan kelompok. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kelompok-kelompok keagamaan berhasil memengaruhi massa untuk mendorong tuntutan politik dan hukum terhadap Ahok.

Dari kasus ini, terlihat bahwa penyebab utama meningkatnya konflik bukan hanya pada isi pidato Ahok, tetapi pada proses penyebaran informasi melenceng yang terjadi di media sosial. Editing video yang kemudian viral, menjadi pemicu ledakan emosi publik dan protes massal. Media massa turut memperbesar dampaknya dengan narasi yang berbeda-beda sesuai dengan latar ideologis dan segmen pembaca mereka. Kompas cenderung mengedepankan sudut pandang netral dan menahan diri dalam menyebut aksi sebagai gerakan bernuansa SARA. Sementara itu, Republika secara eksplisit membingkai demonstrasi sebagai bentuk tuntutan hukum murni tanpa muatan politik identitas (Mayasari, 2017).

Di sisi lain, pemerintah dan aparat hukum berada pada posisi yang sulit, harus menjaga ketenangan situasi di saat bersamaan dengan mendengarkan aspirasi publik. Aparat keamanan dilibatkan secara besar-besaran dalam menjaga aksi damai, namun tidak sedikit pihak yang menilai adanya tekanan terhadap proses hukum Ahok. Penggunaan pasal penodaan agama dinilai sebagai bentuk kemunduran demokrasi karena berpotensi disalahgunakan dan tidak menjamin perlindungan terhadap kebebasan berpendapat. Amnesty International (2017) bahkan menyatakan bahwa Ahok seharusnya tidak dipenjara karena ia tidak menganjurkan kebencian atau diskriminasi.

Dampak dari peristiwa ini sangat luas. Secara sosial, masyarakat Indonesia terbagi dalam dua kubu yang berlawanan, bahkan hingga saat ini. Secara politik, kasus ini membuka jalan bagi kemenangan Anies Baswedan dalam Pilkada DKI 2017 dan menunjukkan kekuatan mobilisasi berbasis identitas keagamaan. Secara hukum, kasus ini menandai pentingnya reformasi terhadap pasal-pasal hukum yang ambigu dan represif. Media pun terkena dampaknya, baik dari sisi tekanan sosial maupun kekerasan terhadap jurnalis di lapangan.

Dalam upaya penyelesaiannya, beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, pasal penodaan agama dalam KUHP perlu ditinjau ulang atau direformasi agar tidak menjadi alat politisasi hukum. Kedua, pendidikan literasi media dan digital harus ditingkatkan, agar masyarakat tidak mudah termakan oleh informasi yang tidak akurat. Ketiga, diperlukannya ruang dialog lintas agama dan antar kelompok agar potensi konflik bisa dicegah. Keempat, pemerintah perlu bersikap lebih tegas dalam menjamin kebebasan berpendapat dan melindungi minoritas dari diskriminasi, tanpa kehilangan kendali atas stabilitas nasional.

Sebagai simpulan, kasus Ahok memperlihatkan bahwa demokrasi kita masih menghadapi tantangan besar dalam mengelola perbedaan, baik soal identitas, keyakinan, maupun pandangan politik. Polarisasi sosial yang terjadi membuktikan bahwa demokrasi kita masih perlu belajar untuk menangani perbedaan dalam ruang publik. Oleh karena itu, evaluasi politik atas kasus ini tidak hanya penting untuk keadilan masa lalu, tetapi juga sebagai pelajaran berharga bagi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih inklusif, adil, dan toleran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun