Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bukan Penelitian: Syarat Absurd dalam Sebuah Lowongan Kerja Itu Nyata

8 Mei 2021   16:00 Diperbarui: 13 Mei 2021   19:10 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua orang tengah saling berjabat tangan tanda kesepakatan telah dibuat. (Sumber: Pexel.com/Foto oleh Fauxels.)

Tak semua orang kebelet menjadi entreupreuner di usia muda.

Tak semua orang memiliki urat berani terhadap kata gagal (hey, ini bacaan saat kau gagal) karena takut kecewa—dan tak semua orang pula memilih untuk hebat dengan menjadi dirinya sebelum terlebih dahulu jadi diri orang lain di luar sana.

Bicara dinamika dunia kerja, semua orang sepakat kian tahun persaingannya kian ganas dan menggila. Obrolannya tak cuma melulu dibahas oleh siapapun yang berada satu meja melainkan bisa pula sampai ke sesama kita yang tak dalam satu rukun tetangga.

Jangan heran kebanyakan dari kita masih banyak yang bermain "aman" dan memilih bekerja—pada sebuah tempat usaha atau perusahaan-perusahaan—layaknya orang-orang pada umumnya; bagi para pencarinya, tak satu atau dua lamaran ditebar, tak satu atau dua hari waktu dihabiskan—untuk menunggu kabar—dengan sabar. 

Berbilang tahun, pada akhirnya, saya menyadari banyak hal menyangkut dunia kerja yang pada akhirnya bikin saya geleng-geleng kepala. Saya menyebutnya sesuatu yang absurd dalam dunia kerja dan itu telah saya telaah melalui sebuah lowongan kerja.

Apa saja?

Bersiap-siaplah.

#1 No double-double club.

Poin pertama bermula di medio 2012—persisnya, beberapa bulan sebelum saya diterima di sebuah bank­­—dan "pencerahan" menyoal ini baru saya dapat beberapa tahun setelahnya.

Ketika itu saya melamar kerja sebagai karyawan di sebuah rumah sakit ibu dan anak. Singkat kata, hari itu dari segi penampilan saya sudah lebih dari sekadar paripurna. Soal menjawab pertanyaan saat sesi wawancara, saya yakin tak akan ada masalah.

Semua syarat saya penuhi, tinggal bagaimana takdir akan membersamai, begitu pikir saya ketika itu.

Namun, seperti biasanya, selalu ada raut tegang dari tiap wajah-wajah para pelamar kerja meski secara tersirat saya tangkap melalui obrolan yang ala kadarnya.

Tersebutlah ada satu pelamar kerja, seorang wanita—yang usut punya usut—telah bersuami dan beranak dua. Padahal nyata-nyata pekerjaan yang akan dilamarnya mengharuskan status single tanpa embel-embel menikah. Cilaka!

Tak ada yang salah dengan status single sebenarnya, tetapi—calon—karyawan yang telah menikah seharusnya tak mengapa juga untuk melamar kerja—menurut saya lho ya.

Kita main logika saja, bukankah mereka yang telah menikah yang seharusnya lebih banyak mendapat kesempatan untuk mendapat kerja, apalagi jika yang melamar kerja sudah sudah memiliki buah cinta?;

lagi, gunakan logika, jika mereka yang telah menikah kebutuhannya bisa dikatakan "cukup", untuk apa lagi mereka bersusah payah—mencari—kerja?

Saya percaya, status pernikahan seseorang tak selalu berbanding lurus dengan hasil. Mereka yang tak lagi berstatus "sendiri" dalam hidupnya (baca: telah menikah) harusnya juga layak mendapat kesempatan yang sama. Dengan kata lain, loyalitas dalam bekerja buat mereka—yang telah menikah—akan jadi prioritas utama; akan dibayar setimpal oleh mereka.

#2 Bukan selebriti yang pantas dikuntit paparazi.

Seberapa sering kau lihat syarat "berpenampilan menarik" di tiap lowongan kerja? Sudah sering ya? Kau lelah? Sama, saya juga!

Bagi saya pribadi, syarat ini lebih dari cukup dan entah sudah berapa kali membuat saya gemeush tak terbilang. Dalam hati saya bertanya, “ini syarat lowongan kerja atau syarat menjadi selebriti ternama?!”

Apakah syarat "berpenampilan rapi" kurang cukup sebagai makna denotasi untuk tidak tampil kucel alih-alih acak-acakan?

Sila pikirkan ulang.

Dinamika kerja para karyawan di tempat kerjanya. (Sumber: Pexel.com/Foto oleh Canva Studio)
Dinamika kerja para karyawan di tempat kerjanya. (Sumber: Pexel.com/Foto oleh Canva Studio)
#3 10.000 jam terbang.

Salah satu tantangan para pelamar kerja lainnya adalah pengalaman. Ini tidak akan jadi masalah jika kau sudah punya sepak terjang dan kau memang lah sosok yang bertalenta. Namun, akan lain ceritanya jika yang menjadi pelamar kerja adalah fresh graduate yang baru lulus beberapa bulan sebelumnya; yang baru lulus saja terkadang tak mau digaji murah apalagi yang sudah kompeten di bidangnya?!"

Now, we can say, “pengin dapat yang berpengalaman tapi ngegajinya kok kayak emak-emak ngasih anaknya duit cebanan?!”

Ada-ada saja.

#4 Aku ingin begini aku ingin begitu.

Syarat yang satu ini bisa jadi akan membuat sebagian orang naik darah karena dalam syarat ini perusahaan kerap menjadi Nobita yang seenak udel dan banyak maunya.

Bagaimana tidak, seseorang dituntut bisa memiliki kecakapan ini dan itu dalam waktu yang sama untuk satu posisi kerja yang dilamarnya?

Saya kasih contoh. Saya pernah tuh, ngelirik satu job di bidang visual sesuai minat saya. Tapi, syaratnya, beuh, ngga kaleng-kaleng. Saya bukan cuma harus bisa seni fotografi, tapi juga dituntut jago menguasai macam-macam software seperti Adobe Ilustrator, Photoshop, Corel Draw, After Effect—dan Auto Cad juga kalau saya tidak salah ingat. Dalam hati saya nyeletuk, "almost gue bisa semua nih!” Sejurus kemudian saya timpali sendiri, “tapi, buset, ini mah sudah lebih dari standar ganda!"

Sampai akhirnya, minat saya yang tadinya sudah setengah, melorot habis tak tersisa begitu saya mendapati indikasi lain yang mereka minta:  punya networking yang luas dan bisa melobi orang.

Dih, saya sih ogah ah, ngga tahu kalau Rosalinda?!

#5 Kompetensi tak melulu harga mati.

Saya paham dunia kerja itu penuh sikut kiri penuh sikut kanan. Tapi, bukan berarti lulusan swasta boleh dikucilkan. Saya sedang tidak bercanda, saya pernah membaca syarat ini lho di satu lowongan kerja dan itu tidak cuma sekali. Ya, tak sedikit perusahaan menginginkan semua para pekerjanya lulusan perguruan tinggi negeri. W-O-W.

Jelas itu bikin greget saya. Ya, agak aneh sih, kompetensi kan tidak selalu berbanding lurus dengan kapasitas dan kapabilitas seseorang—dan tak selamanya juga lulusan negeri itu keren kok. Jadi, untuk apa syarat yang satu ini mesti ada?

Nah, pertanyaan usil saya muncul deh, kalau swastanya lulusan "sekolah-sekolah" luar negeri, apakah bisa jadi pertimbangan? Atau malah langsung diterima? Ups.

#6 Menikah? Tunggu dulu!

Menikah tidak ada urusannya dengan waktu dan kesempatan yang tepat. Yang paling penting adalah orang yang tepat. Baru selanjutnya soal waktu, tempat, cara, undangan, makanan dan tentu saja fotografer yang tepat.

Sesi foto pengantin atau couple session dalam sebuah pernikahan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Sesi foto pengantin atau couple session dalam sebuah pernikahan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Jangan terkesima, itu bukan kalimat bijak dari saya. Tapi, dari Jerry Aurum, salah satu Fotografer—idealis—idola saya.

Menikah (baca: masalah-masalah yang menyangkut rumah tangga)—konon katanya—jadi musabab mengapa para karyawan akan kehilangan fokus saat bekerja. Jadi, tak heran banyak perusahaan memberi syarat "tidak akan menikah dalam waktu dekat" bagi para calon karyawannya.

Ini sih tantangan yang maha berat bagi mereka yang menganut paham "jodoh siapa yang tahu kapan datangnya!" Ya ngga?

Ya, Tuhan, ini mah bukan cuma tantangan, tapi cobaan...

#7 You drive me crazy?!

"Kerja tidak hitung-hitungan."

Jujur setelah membaca syarat ini, respon pertama saya adalah: "saya bukan relawan untuk sebuah lembaga amal!"

Menohok? Tentu saja jika yang merespon itu adalah si perusahaan yang membuat syarat. Jika boleh jujur, saya bukan orang yang suka dengan tugas yang bejibun dari yang bukan job desciption saya—apalagi jika itu dikerjakan bukan di jam kerja. Nehi.

Jadi, syarat ini memang alangkah baiknya ditiadakan—alih-alih memang seharusnya tidak pernah ada—demi kebaikan bersama.

#8 Untuk yang ini malah lebih aneh lagi.

Belakangan syarat melamar kerja semakin tidak masuk akal, termasuk syarat yang satu ini yang menurut saya justeru mencederai keinginan serius seseorang untuk bekerja.

Well, selamat datang di dunia kerja yang tak hanya membicarakan pengalaman dan kompetensi; hubunganmu dengan Tuhanpun pelan-pelan akan dikuliti.

Saya tidak tahu siapa yang memulainya dan sejak kapan digunakannya, yang jelas syarat yang mengharuskan pelamar kerja harus sama agamanya dengan si pemberi—wewenang—kerja bisa dikatakan aneh di telinga. Setidaknya untuk saya.

Sebenarnya, ini bisa saja tak jadi masalah selama tempat usaha/perusahaan yang akan merekrut karyawan tersebut adalah tempat usaha/perusahaan yang berlandaskan payung satu agama tertentu—alih-alih memang didanai sepenuhnya oleh agama tersebut.

Dengan kata lain tidak membuka lowongan untuk khalayak dari lintas agama yang berbeda—herannya, malah justeru bergerak secara komersil dan masih mengurusi urusan-urusan duniawi. Apaan-apaan sih? Ckckckck...

Sejatinya, seseorang yang mencari kerja tak melulu menghabiskan waktunya demi mencari duit untuk bisa makan seharian—atau untuk sebulan ke depan, namun pula untuk menambah lebih banyak pengalaman, meningkatkan wawasan serta jumlah teman—alih-alih setoran modal untuk usaha di masa depan.

Seyogyanya, para pemberi wewenang (baca: perusahaan atau tempat-tempat usaha) bisa memberikan rasa "aman" sehingga para calon karyawannya bisa merasa nyaman.

Jadi, kawan, kelak jika kau sudah punya modal lebih dan berniat mendirikan usahamu sendiri, delapan syarat absurd yang saya sebutkan tadi saatnya kau sudahi.

Tabik.

Disclaimer:

Apa yang saya tulis ini (baca: 8 syarat absurd dalam sebuah lowongan kerja) adalah buah pengamatan serius tanpa sengaja yang saya lakukan dari banyaknya hal yang menyita perhatian saya selama saya memasuki dinamika dunia kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun