Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FEB UGM
KASTRAT BEM FEB UGM Mohon Tunggu... Penulis - Kabinet Harmoni Karya

Akun Resmi Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Lekatnya Budaya Korupsi di Indonesia

13 Maret 2019   19:46 Diperbarui: 13 Maret 2019   22:48 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lekatnya Budaya Korupsi di Indonesia

Oleh : M. Paksi Assyafan

Permasalahan korupsi di Indonesia sudah timbul semenjak era orde lama. Namun, budaya korupsi sudah muncul di Indonesia semenjak VOC menjalankan kekuasaannya. Walaupun VOC dinyatakan bangkrut dan bubar pada 31 Desember 1799, tetapi budaya dapat tertanam dalam struktur masyarakat.

Sulitnya pengentasan kasus korupsi di berbagai sektor kehidupan karena produk hukum yang masih dapat diakali, contohnya pada korporasi atau juga pelaku memperoleh perlindungan dari pihak terselubung. Akhirnya, tindak korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar kuat di Indonesia.

Menurut world bank, pengertian korupsi dibatasi pada pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi. Berdasarkan definisi tersebut, secara implisit menyebutkan tiga unsur utama korupsi, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Kusuma, 2003).  

Di sisi lain, menurut Mahzar (2003), korupsi merupakan tindakan ilegal untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok. Berdasarkan kedua definisi umum mengenai korupsi, korupsi yang dilakukan individu atau kelompok sangatlah merugikan berbagai pihak, termasuk Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan melalui kerugian yang dialami Indonesia pada 2017 dari 576 kasus korupsi, yaitu mencapai Rp6,5T (ICW, 2018). 


Pada tahun sebelumnya, nilai kerugian negara atas tindak pidana korupsi yaitu Rp5 T. Lebih dari itu, berdasarkan hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam rentang tahun 2001 hingga 2015, nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai Rp203,9 triliun. Besaran nilai kerugian ini tentunya mengimplikasikan perekonomian Indonesia berpotensi mengalami kemandekan yang semakin parah apabila kasus korupsi tidak dapat diselesaikan dan dicegah.

Sejak peristiwa reformasi pada 1998, pengusutan kasus tindak pidana korupsi kerap dilakukan sebagai langkah meminimalisir kerugian atas kekayaan negara. 

Berdasarkan data Anti-Corruption Clearing House yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2018, sejak 2004, KPK telah melakukan penindakan pada kasus tindak pidana korupsi dengan rincian: Penyelidikan 1.135 perkara; Penyidikan 887 perkara; Penuntutan 719 perkara; inkracht 578 perkara, serta; Eksekusi 610 perkara. 

Berdasarkan rekapitulasi penindakan pada kasus tindak pidana korupsi, secara garis besar, ada pertumbuhan yang positif dalam mengatasi kasus korupsi di Indonesia pada era Presiden Joko Widodo. Namun, hal ini masih menjadi sinyal buruk bagi Indonesia karena kasus korupsi masih fluktuatif.

(Sumber: Diolah dari data KPK, 2018)
(Sumber: Diolah dari data KPK, 2018)

Jika ditilik dari instansinya, kementerian/kelembagaan menjadi penyumbang terbanyak dalam kasus korupsi sejak tahun 2004 di Indonesia, yaitu 312 perkara. Namun, per Desember tahun 2018, kedok korupsi yang dilakukan dalam lingkungan pemkab/pemkot terbuka lebar. Adanya peningkatan perkara korupsi dari kalangan pemkab/pemkot sebesar 115% dari tahun 2017 mendorong kenaikan yang signifikan sehingga menjadikan instansi ini sebagai penyumbang kedua terbanyak kasus korupsi di Indonesia, yaitu 295 perkara. 

(Sumber: Diolah dari data KPK, 2018)
(Sumber: Diolah dari data KPK, 2018)

Terlebih lagi, pada tahun 2018, KPK (2018) mencatat sebanyak 29 kepala daerah terjerat kasus korupsi, termasuk Bupati Purbalingga, Bupati Bekasi, dan Bupati Cianjur. Hal ini menjadi rekor baru setelah pada tahun 2014, sebanyak empat belas kepala daerah digiring ke bui. 

Di sisi lain, data KPK juga menunjukan tindak pidana korupsi berdasarkan wilayah. Dalam wilayah kerja pemerintahan pusat, sejak tahun 2004, terdapat 283 tindak pidana korupsi dan menjadi penyumbang terbesar di Indonesia. Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Jawa Barat berada di urutan selanjutnya.

Berdasarkan profesi atau jabatan, sejak tahun 2004, tindak pidana korupsi didominasi oleh anggota DPR dan DPRD sebanyak 247 kasus serta swasta sebanyak 238 kasus. Posisi anggota DPR dan DPRD yang menjadi "representasi" masyarakat Indonesia di kursi legislatif kian tergerus apabila kepercayaan masyarakat terus dikhianati. 

Di sisi lain, pihak swasta memang menjadi sumber korupsi terbanyak nomor dua di Indonesia apabila dilihat dari profesi dan jabatan. Namun, korporasi yang dikenakan sanksi atas korupsi masih sedikit, yaitu lima korporasi. 

Pengusutan kasus korupsi saat ini masih diarahkan kepada individu-individu terkait. Hal ini dikarenakan dikarenakan akses informasi yang sangat sulit dalam mengetahui korporasi secara sempurna. Korporasi cenderung menutup-nutupi segala bentuk kecurangan agar investor tetap menanamkan modalnya demi mencapai keuntungan yang lebih besar. Di samping itu, adanya dualisme pengakuan korporasi sebagai subjek hukum semakin memperkeruh keadaan. 

(Sumber: Diolah dari data KPK, 2018)
(Sumber: Diolah dari data KPK, 2018)
Saat ini, Corruption Perception Index (CPI) Indonesia menduduki peringkat ke-89 dari 180 negara di dunia dengan nilai 38, lebih baik dibandingkan tahun 2017 dengan nilai 37 (Transparency International, 2018). 

Dalam ruang lingkup Asia Tenggara, Indonesia berada pada posisi empat. Malaysia (47), Brunei Darussalam (63), dan Singapura (85) memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan Indonesia. Mitra senior Global Integrity Group, Stuart Gilman, menyatakan bahwa semakin baik indeks persepsi korupsi, investasi yang masuk ke dalam negara tertentu akan meningkat dan kepercayaan investor juga akan meningkat.

Korupsi memang merupakan suatu dilema. Setiap orang pasti akan menghadapi Trade-off antara mengoptimalkan kepuasan diri sendiri atau mendorong kesejahteraan seluruh masyarakat melalui program percepatan pembangunan. Orang yang sadar buruknya korupsi akan memilih pilihan kedua. Namun, setiap individu pasti memiliki preferensi yang berbeda. Jack Bologna (1993), melalui GONE Theory, menyatakan bahwa motif seseorang melakukan korupsi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu Greeds (Keserakahan), Opportunities (Peluang), Needs (Kebutuhan), dan Exposures (Pengungkapan). 

Sebelumnya, Cressy (1953) juga pernah mengungkapkan alasan individu melakukan fraud atau kecurangan. Melalui Fraud Triangle, alasan berbuat curang terdiri dari Pressures (Tekanan), Opportunities (Peluang), dan Rationalization (Rasionalisasi). Beragamnya alasan tersebut menyulitkan penumpasan tindak pidana korupsi karena probabilitas penuntasan korupsi melalui satu paket kebijakan saja sangatlah kecil.

Apakah korupsi memang begitu melekatnya dalam budaya Indonesia sehingga dalam penumpasannya akan semakin sulit ke depannya? Mungkin sederhananya, "ada niat, pasti ada jalan". 

Ketua KPK, Agus Rahardjo, menyatakan bahwa Whistleblower System akan menjadi sarana pelaporan tindak pidana korupsi di Indonesia. Sistem ini memanfaatkan orang dari internal maupun masyarakat dari luar untuk memberikan laporan kepada KPK. Namun apakah hal itu cukup? Reformasi peraturan juga perlu dipercepat pelaksanaannya agar upaya preventif dan represif dapat dilakukan dengan lebih optimal. Metode-metode lain juga memiliki peluang dalam menuntaskan kasus korupsi di Indonesia. Ingat saja, bahwa slogan KPK yang berbunyi 'Berani Jujur Hebat', adalah motivasi kita sebagai masyarakat Indonesia dalam menumpas korupsi.

 

Referensi:

  1. Azanella, L. (2018) 'Data KPK, Angka Penindakan Korupsi pada 2018 Turun 41,2 Persen', Kompas, 20 February, Available at: https://nasional.kompas.com/read/2018/12/10/15314821/data-kpk-angka-penindakan-korupsi-pada-2018-turun-412-persen [Accessed 10 February 2019]
  2. Bhargava, V. (2005) 'The Cancer of Corruption', the Global Issues Seminar Series, October 2005: World Bank.
  3. Bologna, J. (1993). Handbook on corporate fraud: Prevention, detection, and investigation. Boston: Butterworth-Heinemann.
  4. Budiyoni, E., Isgiyata, J., dan Indayani. (2018). Studi Tentang Teori GONE dan Pengaruhnya Terhadap Fraud Dengan Idealisme Pimpinan Sebagai Variabel Moderasi: Studi Pada Pengadaan Barang/Jasa di Pemerintahan. Jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis, 5(1), pp. 31-42.
  5. Eryanto, D. (2019). Corruption Perception Index: What does it really mean?. The Jakarta Post, 8 February. Available at: https://www.thejakartapost.com/academia/2019/02/08/corruption-perception-index-what-does-it-really-mean.html [Accessed at: 10 February 2019]
  6. KPK (2018). Tindak Pidana Korupsi. Available at: https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi.(Accessed at: 22 Januari 2019)
  7. Mohammad, Y. (2016) 'Kerugian negara akibat korupsi di Indonesia Rp203,9 triliun', Beritagar, 5 April Available at: https://beritagar.id/artikel/berita/kerugian-negara-akibat-korupsi-di-indonesia-rp2039-triliun [Accessed 22 January 2019]
  8. Nurdin, I. (2017). Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek bagi Penyelenggara Pemerintahan. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.
  9. Pradipha, F. (2018) '104 Kepala Daerah Terjerat Korupsi, Sebanyak 29 Orang di Tahun 2018', Tribun, 19 December. Available at : http://www.tribunnews.com/section/2018/12/19/data-icw-104-kepala-daerah-terjerat-korupsi-sebanyak-29-orang-di-tahun-2018. (Accessed: 1 Februari 2019)
  10. Wijaya, L. (2018) 'Kasus Korupsi Tahun 2017, ICW: Kerugian Negara Rp 6,5 Triliun', Tempo, 20 February. Available at: https://nasional.tempo.co/read/1062534/kasus-korupsi-tahun-2017-icw-kerugian-negara-rp-65-triliun/full&view=ok [Accessed 22 January 2019]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun