Penulis: I Made Bramantya Dwi Abhikrama
Pengobatan alternatif adalah suatu spektrum layanan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Akupuntur, bekam, dan pijat, bukan merupakan hal yang asing didengar dan sudah banyak dilakukan, dipraktekkan, dan menjadi pilihan banyak orang dalam mengatasi keluhan medis mereka. Beberapa jenis pengobatan dan terapi alternatif telah memiliki akar dalam dunia sains modern, sebagaimana praktik bloodletting; mengeluarkan darah dari pembuluh vena, yang dilakukan di eropa pada zaman dahulu dapat memberikan efek signifikan pada penyembuhan dari arthritis [1].Â
Namun, tidak semua praktik pengobatan tradisional berdasar pada ilmu pengetahuan pasti dan bersifat evidence based. Sebagian masih berdasar pada kepercayaan semata dan tidak memiliki dasar pasti dalam dunia medis. Kepercayaan pada hal hal abstrak tanpa bukti inilah yang membedakan pengobatan yang baik dan solutif dengan pengobatan yang menyesatkan.Â
Linear dengan perkembangan media sosial dan kecepatan penyebaran informasi, semakin banyak praktek pengobatan alternatif yang terungkap. Praktek bekam, akupuntur, dan pijat mulai dipamerkan dan bermunculan di sosial media dan minat masyarakat akan praktek sejenis mulai menjamur dan meningkat. Ditengah gempuran informasi, mulai terlihat pula praktek-praktek pengobatan alternatif yang sedikit--bahkan sangat--diluar nalar tanpa adanya dasar dari ilmu pengetahuan medis. Harga yang ditawarkan pun tidak sedikit, berkisar dari ratusan ribu hingga merambah angka jutaan per sesinya.Â
Salah satu praktiknya adalah terapi asap kretek.Â
Terapi asap kretek adalah sebuah terapi yang secara teknis menyemprotkan asap yang dihisap spuit dari rokok kretek berlabel "herbal" ke dalam tenggorokan, hidung, dan sistem pernafasan dari pasien yang melakukan terapi. Terapi-terapi ini memberikan label aman dan mengklaim bahwa hal ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan kanker dan penyakit lainnya. Rokok dan tembakau sendiri memang banyak digunakan oleh berbagai komunitas pada zaman dahulu untuk penyembuhan yang bersifat transdisiplin, utamanya pada penyembuhan penyakit yang berhubungan dengan pikiran. Namun, dalam kacamata pengobatan modern, tembakau dan rokok tidak diakui sebagai sebuah metode terapi karena efek samping yang luas dan dapat menyebabkan komplikasi berupa adiksi atau kecanduan, kanker, dan penyakit kardiovaskular atau jantung [2][3].
Namun, mengapa praktik seperti ini seolah subur dan tidak ditolak, atau bahkan dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia?
Miskonsepsi, Social Learning, dan Survivorship Bias; Inti
Oleh masyarakat Indonesia, terapi kretek sendiri kadang dianggap sebagai suatu praktik yang awam, dengan alasan bahwa rokok kretek yang "natural" atau "herbal" adalah sesuatu yang berbeda dibandingkan rokok kretek komersil. Kebiasaan ini merupakan sebuah fallacy yang langgeng dilakukan. 59% masyarakat Indonesia memandang bahwa pengobatan tradisional dan pengobatan herbal adalah sesuatu yang aman secara inheren karena diambil dari sumber yang natural. Menyamakan "natural" dan "harmless" sebagai suatu aspek yang sejalan. Miskonsepsi inilah yang menjadi landasan berpikir banyak sekali individu, yang menyebabkan sebuah keruntuhan logika kolektif dan paradigma seputar pengobatan medis alternatif di Indonesia [4].
Banyak individu yang melakukan sitasi mengenai klaim bahan tambahan berupa "scavenger" dalam rokok kretek terapi bersifat mengurangi racun dan menetralisir zat toksik yang terkandung dalam asapnya, dengan klaim kesuksesan 70% pada 3000 pasien terapi. Namun, kontradiktif dengan klaim tersebut, banyak studi independen yang menyoroti bagaimana rokok kretek memiliki 3 hingga 5 kali lebih banyak nikotin dan 34 hingga 65 mg tar per batangnya, yang memiliki dampak langsung pada kerusakan paru dan menjadi konsensus dari International Agency for Research on Cancer yang menekankan bahwa asap rokok apapun bahan aditifnya, bersifat karsinogenik atau berpotensi menimbulkan kanker [5][6].
Teori social learning, yang menjelaskan bahwa manusia merupakan sebuah individu yang belajar dan meniru lingkungan sekitarnya, juga dapat ditemui dalam fenomena dan paradigma masyarakat ini. Terapi alternatif banyak sekali memiliki akar dalam kehidupan komunal, baik dari lingkup keluarga maupun lingkup masyarakat yang lebih luas lagi. Belum lagi dengan adanya media sosial yang memberikan publikasi gratis dan mudahnya mencari Key Opinion Leader sebagai sarana promosi, kemungkinan masyarakat menjadi percaya, atau mencoba percaya akan terapi alternatif sejenis ini semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan teori social learning yang menyebutkan bahwa manusia belajar bagaimana bertindak, beremosi, dan memilih melalui observasi dan imitasi individu lain milik Albert Bandura.Â