Penulis: Muhammad Aqiilah Fadhlurrahman
Media sosial, sebuah platform yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia seiring berkembangnya teknologi yang ada. Menurut Nasrullah, media sosial adalah media daring yang memungkinkan seseorang menampilkan dirinya, berkomunikasi, dan membentuk hubungan sosial dengan orang lain secara maya [1]. Eksistensi media sosial ini tidak hanya menjangkau orang dewasa, tetapi juga menjangkau anak-anak di Indonesia. Tanpa hadirnya aturan yang dapat mengontrol akses anak-anak terhadap media sosial, anak-anak semakin berisiko terpapar sisi negatif dari media sosial serta akan memberikan ancaman terhadap masa depan negara secara kolektif.
Menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, yang disebut sebagai anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (termasuk anak yang masih dalam kandungan) [2]. Di sisi lain, menurut ilmu psikologi, definisi anak mengacu pada seseorang yang berusia akhir masa bayi (± 2 tahun) hingga ± 11 tahun. Selanjutnya, dari usia ± 11 tahun hingga usia ± 18 tahun disebut masa remaja [3]. Walaupun terdapat perbedaan pendefinisian konsep anak, seseorang yang berada pada rentang usia tersebut secara pribadi masih berada dalam tanggung jawab orang tua akan perilaku mereka.
Hasil Survei Internet Indonesia 2024 dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan tingkat penetrasi internet penduduk Indonesia dengan usia di bawah 12 tahun sebesar 48,10% dan usia 12-27 tahun mencapai 87,02%. Hal ini menunjukkan betapa masifnya penggunaan internet di kalangan anak-anak. Survei ini juga menunjukkan bahwa platform media sosial yang paling banyak diakses oleh anak-anak di Indonesia adalah Instagram (51,90%), disusul dengan Facebook (51,64%), Tiktok (46,84%), dan YouTube (38,63%) [4].
Kehadiran media sosial memang membawa berbagai manfaat bagi penggunanya, seperti kemudahan berkomunikasi jarak jauh, kemudahan akses informasi, dan sebagainya. Namun, tidak dapat dikesampingkan bahwa media sosial juga memiliki dampak yang buruk bagi anak-anak. Suatu studi mengungkapkan bahwa anak-anak yang menghabiskan banyak waktunya di media sosial memiliki kecenderungan mengalami depresi, kecemasan, dan rendahnya self-esteem [5]. Kecenderungan tersebut dapat terjadi karena orang-orang hanya menampilkan sisi indah dari kehidupannya atau yang biasa disebut “highlight reels” saja pada media sosial. Hal ini dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan mendorong perilaku perfeksionisme pada anak-anak.
Ahli psikologi perkembangan, Dr. Emma Yuniarrahmah, S.Psi, M.A., Dosen Prodi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat, dalam wawancara pada 20 Februari 2025 menjelaskan, “Penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur sangat berisiko merugikan anak. Anak dapat mengalami hambatan keterampilan berkomunikasi secara langsung dengan orang lain, karena walau bagaimanapun komunikasi yang baik tidak hanya secara tertulis, namun, sebaiknya secara verbal langsung dengan tidak mengesampingkan komunikasi nonverbal seperti gestur tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya agar informasi dapat tersampaikan dengan tepat sesuai dengan tujuan. Dengan komunikasi melalui media sosial, hal penting tersebut tidak didapatkan. Yang lebih penting lagi adalah keterbatasan kemampuan anak dalam memproses informasi di media sosial tidak seperti kemampuan orang dewasa, karena memang kemampuan kognitifnya masih dalam tahap perkembangan dan pematangan, sehingga berisiko mengalami kesalahan dalam mempersepsikan sebuah informasi. Misalnya, anak-anak masih belum mampu membedakan informasi berupa fakta ataupun hoax.”
“Risiko lainnya yang mungkin didapatkan anak karena terlalu sering mengakses media sosial adalah terpapar tindakan kekerasan secara digital, seperti cyberbullying (menghina, mengejek, mempermalukan secara seksual, pornografi, dan sebagainya melalui media sosial),” imbuhnya. Hal ini dapat kita lihat jelas melalui data Kasus Perlindungan Anak tahun 2016-2024 dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang tertera pada tabel di atas.
Data di atas menunjukkan angka anak korban pornografi dan cyber crime di Indonesia sangat mengkhawatirkan, terutama pada tahun 2018, 679 kasus dilaporkan KPAI [6,7,8,9]. Memang terjadi penurunan kasus pada tahun 2023 dan 2024, tetapi hal ini juga diiringi dengan jumlah kasus pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak secara keseluruhan yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Laporan ini menunjukkan bahwa ruang digital Indonesia belum cukup aman untuk anak-anak. Oleh karena itu, perlindungan dalam ruang digital, terutama media sosial sangat diperlukan.
Banyak negara sudah memiliki aturan terkait pembatasan akses media sosial untuk anak-anak. Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Negara Bagian Florida, Amerika Serikat, mengeluarkan larangan pembuatan akun media sosial bagi anak-anak dengan usia di bawah 14 tahun [10]. Persetujuan orang tua juga diperlukan bagi anak-anak dengan usia 14 dan 15 tahun untuk membuat akun media sosial. Selain itu, Negara Bagian Florida juga tegas menginstruksikan perusahaan media sosial untuk menghapus akun media sosial anak-anak yang berusia di bawah 14 tahun.
Sebelumnya, pemerintah Australia mengesahkan aturan serupa pada akhir tahun 2024. Aturan ini melarang anak-anak dengan usia di bawah 16 tahun untuk mengakses media sosial, seperti Facebook, Instagram, X, dan lainnya [11]. Namun, pembatasan akses dalam aturan ini tidak diterapkan pada situs yang diperuntukkan sebagai media edukasi, seperti YouTube Kids, WhatsApp, dan Google Classroom. Dalam aturan ini, pemerintah Australia akan memberikan sanksi sebesar 50 juta dollar Australia kepada perusahaan yang membiarkan anak-anak dengan usia di bawah 16 tahun memiliki akun di situsnya.