Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksploitasi Buruh Perempuan sebagai Dampak Nyata Globalisasi Dilihat dari Fenomena Tren Fashion

10 Mei 2023   07:12 Diperbarui: 10 Mei 2023   08:43 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KARYA#2 Publikasi esai mahasiswa FISIP UPN Veteran Jakarta

Penulis: Najwa Khabiza Egaikmal dan Nadia Puspita Wijaya

Program Studi Hubungan Internasional angkatan 2021
_______________________________________________________________________________

Karakteristik globalisasi menurut Winarno dalam buku yang berjudul "Globalisasi: Peluang atau ancaman bagi Indonesia?" dapat dilihat melalui terintegrasi dan terkoneksinya dunia termasuk kepada pasar-pasar ekonomi dalam lingkungan global yang sudah tidak lagi memiliki batas. Dapat juga dipahami sebagai fenomena kemampuan individu, kelompok, bahkan negara dalam mengakses dan memproduksi informasi pada tatanan dunia yang tidak lagi terbatas dapat dirasakan dengan mudah saat ini. Globalisasi berdampak pada setiap bidang kehidupan. Kita dapat melihat dan merasakan dampak tersebut melalui realitas yang nyata, seperti misalnya Korea Selatan menjadi negara yang berhasil memanfaatkan kesempatan globalisasi ini dalam meningkatkan pengaruhnya melalui budaya-budaya yang dalam hal ini berhasil membentuk citra diri di kancah internasional. Di samping itu, globalisasi juga berperan dalam pertumbuhan kerjasama-kerjasama multilateral dan berperan dalam meningkatkan efektivitas Non-Governmental Organization dalam menyebarkan awareness dan pengaruhnya mengenai suatu isu yang dibawa dengan aktivitas-aktivitasnya. Dalam sisi ekonomi pula, globalisasi memaksa pelaku ekonomi untuk terintegrasi satu sama lain sehingga dalam lingkungan global dicirikan sebagai ekonomi yang terbuka dengan memungkinkan adanya investasi-investasi asing yang masuk ke dalam negeri. Globalisasi mengundang negara-negara untuk terjaring secara holistik dan komprehensif dengan membawa seperangkat konsekuensi yang juga penting untuk diulik. Meskipun globalisasi menjanjikan adanya kemajuan dan kemakmuran, akan tetapi dalam praktiknya globalisasi tetap memiliki dampak yang menyebabkan sengkarut yang dalam hal melihat pada dampaknya terhadap perempuan. Melihat melalui kacamata ekonomi, ketika suatu negara memutuskan untuk mengintegrasikan perekonomiannya dengan pasar global, maka perekonomian negara tersebut tidak akan terlepas dari pengaruh kekuatan ekonomi eksternal. Dengan meningkatnya perdagangan, harga-harga barang impor seringkali dapat bersaing dengan barang-barang lokal yang dengan keadaannya membuat kapitalis dalam negeri berusaha untuk memangkas biaya tenaga kerja. Negara-negara yang terjaring pada akhirnya harus menghadapi kompetisi dalam hal ekonomi. Persaingan dagang dan perebutan investasi yang semakin tajam akan membuat perusahaan-perusahaan transnasional dan investor untuk mencari tempat yang menghasilkan profit lebih baik.

Dampak dari globalisasi dirasakan baik oleh negara berkembang maupun negara maju terkhusus pada pembahasan mengenai persaingan ekonomi. Perusahaan mencari tempat lain agar mendapatkan tenaga kerja yang lebih murah untuk menjaga agar biaya produksi tetap murah. Hal ini membuat permintaan terhadap pekerja perempuan semakin meningkat. Lingkungan global saat ini menggantungkan akumulasi pada pekerjaan perempuan, yang dibayar ataupun tidak, dan sektor formal maupun informal. Mengapa hal ini terjadi adalah karena pekerja perempuan, dengan memanfaatkan stigma yang ada dinormalisasi, lebih wajar mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sebagian besar modal ekonomi global didapatkan dari eksploitasi tenaga kerja yang tidak bisa mengabaikan subordinasi perempuan dan ras tertentu. Guy Standing pada tahun 1988 mengajukan pernyataan bahwa peningkatan jumlah pekerja perempuan juga disertai dengan memburuknya kondisi yang dilihat dari standar tenaga kerja, pendapatan, dan status sosialnya. Pada kenyataannya, meskipun perempuan sudah mulai mendapatkan kesempatan dalam pekerjaan, akan tetapi partisipasi mereka dalam bekerja tidak disertai dengan redistribusi peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga dan mengasuh anak. Ini menciptakan tekanan ekstra kepada perempuan. Dengan tetap bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, perempuan juga tidak bisa menghindar dari praktek kapitalisme yang mencoba bertahan dari persaingan ekonomi dengan mengimplementasikan jam kerja berkepanjangan, kesulitan mengajukan cuti, dan bahkan kekerasan di dalam dunia kerja. Mereka menerima dan mempertahankan pekerjaan tersebut dengan rasa tidak aman demi mendapatkan pendapatan yang aman. Perempuan melakukan kegiatan yang ekstra produktif untuk bertahan hidup dalam keadaan ekonomi yang semakin tinggi sehingga globalisasi telah berdampak terhadap perempuan setidaknya terhadap 3 isu, yaitu perbedaan upah pekerja antara perempuan dan laki-laki, standar kualifikasi buruh perempuan yang tinggi, dan status pekerja perempuan dalam sosial yang secara positif berubah.

Relasi sosial gender menjelaskan bahwa perempuan mendapatkan gaji yang lebih rendah sehingga menguntungkan bagi pemilik pekerjaan yang utamanya adalah sektor swasta. Mengapa hal ini terjadi juga berakar pada standar kualitas buruh yang memiliki kualifikasi tinggi sedangkan perempuan terhambat untuk memenuhi hal tersebut. Kembali lagi pada penyebab utamanya yaitu akses pendidikan dan keterampilan yang tidak diterima oleh perempuan sebelumnya meskipun yang paling utama menjadi penyebab ketimpangan upah adalah bias gender. Kabar baiknya, status pekerja perempuan pada era globalisasi mengalami perubahan positif. Sebelumnya, perempuan pekerja memiliki keterikatan dengan keluarga sehingga memiliki anggapan yang lebih rendah. Hal ini memaksa mereka mendapatkan pekerjaan berbasis rumahan. Namun, globalisasi perdagangan memiliki pengaruh positif terhadap status perempuan. Richards dan Gelleny dalam tulisannya yang berjudul "Women's Status and Economic Globalization" menyatakan bahwa enam puluh tujuh persen dari globalisasi yang signifikan secara statistik koefisien menunjukkan hubungan dengan peningkatan status perempuan. Sehingga kita dapat menemui bahwa bukan hal yang lagi tabu untuk melihat perempuan memutuskan untuk bekerja dan terlibat dalam ekonomi. 

Mengkhususkan pada topik pembahasan pada tulisan ini yang mengacu pada eksploitasi buruh perempuan, salah satu fenomena yang erat kaitannya dengan globalisasi ekonomi yaitu tren fast fashion akan menarik untuk dibahas. Globalisasi semakin tumbuh dilihat dari penggunaannya yang diimplementasikan dan diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadi penghapus batas nyata bagi entitas individu untuk menerima informasi dari luar wilayahnya. Berjejaring akan menimbulkan kesempatan untuk ikut serta dalam meramaikan tren baik dalam diskusi isu-isu global, berpakaian, hiburan, dan kuliner. Globalisasi tentu menjadi titik awal dari adanya tren fast fashion, yaitu perusahaan menggunakan sistem produksi yang murah karena bahan baku berkualitas rendah dengan durasi yang singkat mengikuti kecepatan pergantian model. Dalam hal ini, akan sangat menarik untuk melihat pada bagaimana globalisasi yang mempermudah virality tren berdampak pada perempuan. Utamanya, terhadap perempuan di balik produksi produk yang digandrungi pada suatu periode atau masa.

Perempuan yang dapat melakukan suatu kegiatan atau sebuah pekerjaan entah itu di dalam atau juga luar hubungan kerja dengan maksud ingin menghasilkan barang dan atau jasa adalah tenaga kerja perempuan, yang mana itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun kebutuhan masyarakat (Satu Data Kota Bima, 2022). Seiring berkembangnya zaman, industrialisasi terjadi secara besar-besaran hingga ke Indonesia yang menyebabkan munculnya pabrik-pabrik yang memberikan peluang kerja kepada masyarakat, yang salah satunya adalah para pekerja perempuan yang dikenal dengan sebutan buruh perempuan. Perkembangan tersebut tentunya memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia dan memberi kesempatan peluang kerja kepada perempuan, akan tetapi tak dapat kita pungkiri bahwa hal tersebut juga memiliki sisi negatif, dimana telah disadari bahwa justru industrialisasi menjerumuskan kita, menjadi pribadi yang konsumtif dan hedon, atau dengan istilah lain membawa kita ke arah konsumerisme dan juga hedonisme. Salah satu peristiwa maraknya tren Fast Fashion, dimana masyarakat menjadi lebih konsumtif menyebabkan permintaan pasar meningkat, dan berpotensi menyebabkan sistem perburuhan yang dapat mencekik para buruh. Seperti yang telah kita ketahui bahwa buruh memiliki peran besar dalam proses produksi dalam suatu pabrik menghasilkan barang dan atau jasa, berperan dalam menggerakan aset (aset pemilik modal) hingga memberikan keuntungan. Ini menunjukkan bahwa buruh memiliki peran besar dalam sistem ekonomi. Terdapat banyak perempuan yang menjadi buruh dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda. Tidak sedikit buruh perempuan yang terlibat di pabrik dipengaruhi oleh faktor ekonomi keluarga, yang membuat mereka melakukan pekerjaan yang sebenarnya beresiko untuk seorang perempuan untuk bekerja di ranah tersebut. Banyak persoalan yang terjadi pada buruh perempuan seperti diskriminasi dalam segi upah, hak normatif, usia pensiun, terkait jaminan kesehatan dan masih banyak lagi yang kerap terjadi di lapangan (Zuhaena, M.Si, n.d., #). Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya keluhan dari para pekerja, yang terutama adalah pekerja perempuan, yang salah satu hal yang mereka keluhkan adalah terkait diskriminasi upah dimana mereka melakukan pekerjaan yang sama dengan waktu yang sama juga namun mendapatkan perlakukan diskriminasi dalam segi upah. 

Maraknya tren fast fashion yang menarik masyarakat menjadi gemar terhadap fast fashion product, sehingga terjadi kenaikan permintaan pasar yang kemudian menyebabkan perusahaan di bidang fashion jadi meningkatkan aktivitas produksinya. Hal tersebut dilakukan perusahaan untuk memenuhi permintaan pasar yang meningkat, namun membuat para buruh untuk bekerja lebih ekstra dan banyak buruh perempuan yang merasa terbebani dengan persoalan-persoalan yang terjadi seperti diskriminasi dalam segi upah yang merupakan ketidakadilan yang terjadi terhadap buruh, terutama buruh perempuan. Hal ini menunjukan bahwa tren fast fashion justru menyebabkan eksploitasi terhadap buruh perempuan, yang tentunya peristiwa ini perlu dikritisi. Pada tahun 2018, buruh perempuan hanya mendapatkan upah kerja sebesar 85% dari upah pekerja laki-laki. Tentunya hal tersebut diskriminasi yang menunjukkan ketidakadilan terhadap buruh perempuan karena memaksa mereka untuk bekerja lebih ekstra untuk dapatkan upah yang setara laki-laki. Jika diperhitungkan, untuk dapatkan upah yang setara laki-laki, buruh perempuan harus bekerja 39 hari lebih banyak. Mau tidak mau mereka melakukan pekerjaan sebagai buruh untuk mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak dari buruh perempuan yang melakukan pekerjaan karena dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi yang memaksa mereka untuk bekerja agar mendapatkan penghasilan, meskipun upahnya tidak seberapa (Pratama, 2020).

Telah diratifikasinya CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women) oleh Indonesia, namun pada faktanya seolah hal tersebut telah terlupakan. Buruh laki-laki lajang yang mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan buruh perempuan dijadikan acuan sebagai standar penetapan UMR (Upah Minimum Regional). Terdapat hak khusus perempuan yang harus dipenuhi serta dilindungi undang-undang. Namun pada realitanya banyak persoalan yang terjadi pada buruh perempuan, seperti salah satunya buruh perempuan yang sedang haid harus bekerja sebagaimana biasanya mereka bekerja saat mereka tidak haid, yang padahal terdapat perbedaan keadaan antara perempuan yang sedang haid dengan tidak, namun mereka harus bekerja tanpa merasa ada yang berbeda (Saputra, 2021). Namun pekerjaan tidak menjadi masalah apabila kondisi fisiknya tidak memungkinkan, tertuang di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 81 ayat (1) mengenai ketenagakerjaan yang berbunyi "Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid." tidak terpenuhi di Indonesia (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN, n.d.). Berdasarkan catatan tiga tahun terakhir komnas perempuan, terdapat sejumlah kasus kekerasan, diskriminasi, serta pelanggaran hak maternitas. Ternyata, hal tersebut dapat terjadi di Indonesia setelah UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 disahkan (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2023).

Perppu Cipta Kerja yang kontroversial mendapatkan perhatian masyarakat dan para buruh, bahkan kerap kali memicu demonstrasi dari para mahasiswa. Itu berarti ada yang salah dengan Perppu Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang telah disahkan. Dimana pekerja perempuan mendapatkan kekuatan hukum yang lemah dan dirasa merugikan para buruh. Beberapa hak perempuan yang seharusnya ada, justru seperti dihilangkan, sehingga lebih memberatkan para pekerja perempuan, termasuk buruh perempuan. Padahal sudah seharusnya negara menjadi penjamin pemenuhan hak pekerja, terutama dalam hal ini hak buruh perempuan, dan aspirasi dari masyarakat sangat penting untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Globalisasi pada dasarnya membawa kemajuan positif terhadap perkembangan di setiap lini kehidupan. Akan tetapi, sama seperti bentuk kemajuan lainnya, akan selalu membutuhkan pengorbanan untuk menciptakan sebuah kemajuan dan kemudahan. Akan tetapi hal tersebut dapat diminimalisasi. Persaingan dalam perdagangan, maraknya aliran modal berbentuk investasi, dan kemajuan teknologi yang mencirikan globalisasi dalam bidang ekonomi membutuhkan sebuah kebijakan-kebijakan baru yang berisi regulasi sistem produksi seperti bagaimana standar keterampilan tenaga kerja yang disertai dengan upaya penyesuaian bagi laki-laki maupun perempuan yang kembali berhubungan dengan kebijakan dalam bidang pendidikan dan keterampilan, dan yang paling utama adalah peraturan pasar tenaga kerja dan regulasi hukum yang tegas untuk menghindari adanya praktik eksploitasi terhadap perempuan atau praktik subordinasi lainnya. Hal ini tentu membutuhkan kajian untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat guna bagi kelangsungan tren positif globalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun