Mohon tunggu...
Kastrad BEMKMF
Kastrad BEMKMF Mohon Tunggu... KASTRAD BEM KMF FK UNJANI

Berita tentang kesehatan dan politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"UU KPK Direvisi Lagi? Tarik-Menarik Independensi, Kinerja OTT, dan Arah Pemberantasan Korupsi di Era Pimpinan 2024-2029"

11 September 2025   20:39 Diperbarui: 12 September 2025   13:02 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan setelah muncul wacana revisi lanjutan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Sejak perubahan besar pada 2019, KPK mengalami transformasi signifikan dengan hadirnya Dewan Pengawas, perubahan status pegawai menjadi ASN, serta kewenangan untuk menerbitkan SP3 setelah dua tahun penyidikan. Perubahan tersebut dipandang banyak pihak sebagai pelemahan karena menggerus independensi dan daya gentar KPK dalam melakukan penindakan. Mahkamah Konstitusi memang telah meluruskan sebagian norma dengan menegaskan bahwa izin Dewan Pengawas bukan lagi prasyarat mutlak untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, tetapi cukup pemberitahuan. Namun, koreksi ini tidak serta-merta mengembalikan citra KPK karena desain kelembagaan pasca-revisi dianggap belum mendukung kerja cepat,
khususnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini menjadi ikon KPK.

Kondisi kinerja penindakan memperkuat keraguan publik. Data menunjukkan bahwa pada 2022 KPK masih melaksanakan 22 OTT, namun pada 2023 jumlahnya turun menjadi 16, dan sepanjang 2024 hanya ada 5 OTT, terendah dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia memang sempat membaik, dari skor 34 pada 2023 menjadi 37 pada 2024, tetapi posisi Indonesia masih di peringkat 99 dari 180 negara. Transparency International menekankan bahwa masalah mendasar masih terletak pada korupsi politik, lemahnya integritas sistem peradilan, dan penyempitan ruang sipil. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit perbaikan di level persepsi internasional, realitas kinerja di dalam negeri masih belum meyakinkan.

Pada Desember 2024, pimpinan baru KPK periode 2024--2029 resmi dilantik dengan Ketua Setyo Budiyanto bersama empat wakil (Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis


Tanak, dan Agus Joko Pramono), serta Dewan Pengawas baru di bawah kepemimpinan Benny J. Mamoto. Kehadiran mereka membawa harapan akan konsolidasi internal sekaligus ujian besar untuk memulihkan kepercayaan publik yang sempat tergerus akibat konflik internal, kasus etik, hingga perkara hukum yang menjerat eks ketua KPK periode sebelumnya. Momentum ini semakin panas ketika DPR mengusulkan revisi lanjutan UU KPK pada 2025 dengan dalih penguatan kelembagaan. Kalangan masyarakat sipil justru menilai langkah itu sarat muatan politik dan berpotensi melanjutkan tren pelemahan. Jika ditelusuri akar masalahnya, terdapat beberapa faktor utama. Dari sisi regulasi, norma hasil revisi 2019 membuka celah multitafsir, khususnya dalam hubungan antara Dewan Pengawas dan pimpinan. Dari sisi struktur kelembagaan, status pegawai sebagai ASN menimbulkan kerentanan mutasi, rotasi, bahkan konflik kepentingan karena mereka kini masuk ke dalam sistem birokrasi. Dari sisi proses penindakan, kultur OTT yang menurun memperlihatkan bahwa mekanisme izin dan SOP internal pasca-revisi belum seragam. Di sisi lingkungan politik-hukum, dorongan revisi berulang serta lemahnya komitmen politik menimbulkan kesan bahwa KPK justru menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Tak kalah penting, kepercayaan publik menurun drastis, sehingga masyarakat cenderung apatis terhadap pemberantasan korupsi.

Dalam kondisi demikian, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan. Pertama, pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan revisi terbatas UU KPK untuk mengkodifikasi putusan MK, memperjelas garis koordinasi antara Dewan Pengawas dan pimpinan, serta mengevaluasi kembali klausul SP3 dua tahun untuk perkara yang kompleks. Kedua, tanpa menunggu proses legislatif yang panjang, KPK harus segera menata ulang SOP penindakan, memperkuat mekanisme intelijen keuangan dan forensik digital, serta mengembangkan sistem manajemen talenta untuk menjaga profesionalitas pegawai ASN. Ketiga, perlu dibangun kerja sama lebih erat dengan Polri, Kejaksaan, PPATK, dan BPKP melalui pembentukan pusat intelijen bersama untuk menangani kasus state capture atau korupsi tingkat tinggi. Keempat, transparansi kinerja harus ditingkatkan melalui publikasi
data OTT, pemulihan aset, hingga kepuasan publik secara berkala, agar masyarakat dapat mengawasi dan menilai langsung efektivitas KPK.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun