* * *
Satu tahun kemudian. . .
"Saya terima nikahnya Rania Zulaikha binti Ahmad Maulana dengan mahar 100.000 rupiah, serta seperangkat alat sholat dibayar tunai" ucap kak Rizki terdengar lantang dan jelas, serta penuh kekhusyuan lewat alat pengeras suara. Jawaban "sah" oleh kedua saksi dan para undangan pun mulai terdengar bersahut-sahutan.
"Barokallahu lakuma, wa baraka 'alaikuma, wa jama'a bainakuma fii khaiir" bisikku pelan namun jelas terdengar di telinga Rania yang saat ini dengan erat menggenggam tanganku.
"Aamiin. Makasih ya Fit.! Aku sungguh beruntung mempunyai sahabat sepertimu." Sorotan mata Rania menampakkan kalau dia menyimpan banyak rasa yang mungkin tak bisa diungkapkan satu persatu. Salah satunya, mungkin karena tak enak hati akan meninggalkanku.
"Aku juga beruntung punya sahabat sepertimu, Ran. Ayolah, jangan pasang wajah seperti itu nanti aku juga ikut-ikutan sedih. Kebahagiaan kalian berdua, juga menjadi kebahagiaanku" tuturku menegaskan sembari kuberikan senyum terindah untuknya, dengan harapan hatinya akan tenang dan tak memikirkan tentang statusku yang masih sendiri. Kemudian, terdengar seseorang membuka gagang pintu dan bersuara: "Kak Rania, kakak dipanggil tuh.! katanya sih kakak harus keluar. Soalnya, sudah ditunggu buat penandatangan, dll." ungkap gadis di balik pintu yang tak lain adalah adik sulungku. "Oo, ya kak! kita pulang yuk, kan akad nikah kak Rania dan kak Rizki sudah selesai juga. Aku kurang enak badan nih" pintanya dengan memelas. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku sebagai tanda kalau aku menuruti permintaannya.
Amira adalah adik pertamaku, dia sekarang duduk di kelas II SMK. Dia sangat dekat denganku. Meskipun kami berdua sangat dekat. Namun, dia sangat menghormatiku sebagai kakaknya. Aku kerap kali menjadi pelipur lara baginya. Dia selalu menganggapku segalanya, terkadang bisa menjadi kakak, menjadi sahabat, dan juga menjadi ibu semenjak ibu meninggalkan kami untuk selamanya.
* * *
Ketika menuju parkiran motor roda dua, aku menggandeng tangan adikku.
"Kamu sakit apa, dek?" tanyaku penasaran.
"Dek, kamu sakit apa?" tanyaku lagi. Tanganku pun mulai meraba-raba bagian dahinya. Tapi adikku tetap diam dan tak menjawab pertanyaanku.