Dari kejauhan tampak terpancar kebahagiaan dari paras cantiknya Rania. Senyumannya yang manis semakin menambah kesan keanggunan yang terpancar dari dirinya. Rania adalah sahabat karibku. Persahabatan kami sudah terjalin hampir belasan tahun. Persahabatan itu berawal dari kegiatan Masa Orientasi Siswa ketika kami menjadi siswa baru di SMP. Saat itu dia menjadi salah satu anggota kelompokku pada kegiatan tersebut.
Tiba-tiba Rania menghilang dari pandanganku untuk beberapa saat. Dan...
"Assalaamu'alaikum, Fit.." suara Rania mengagetkanku.
"Wa..wa'alaikumussalam" kataku tergagap.
"Kamu kok bengong gitu, kenapa?" tanya Rania dengan wajah bingung yang tanpa aku sadari dirinya tiba-tiba sudah berada tepat di depanku.
"Ah, nggak apa-apa, Ran.!" jawabku dengan tersenyum.
"Kamu...! sama sahabat sendiri aja pake rahasia segala. Kalau ada apa-apa cerita aja ke aku. Siapa tahu aku bisa bantu. Seandainya aku nggak bisa bantu, setidaknya izinkan aku untuk menjadi pendengar yang baik untuk setiap masalahmu. Jangan cuma kebahagiaan aja yang kamu bagikan ke aku, Fit. Tapi, kesedihanmu juga. Jika kesedihanmu yang dibagi, maka mampu mengurangi kesedihan yang ada. Sebaliknya, jika kebahagiaan yang kamu bagikan, maka akan menambah kebahagiaanmu yang ada. Begitukan yang sering kamu bilang kepadaku?" untaian kalimat Rania yang begitu panjang, akhirnya menghadirkan senyum simetris di bibirku. Begitulah sahabatku ini. Dia memang paling bisa men-copy paste kalimat-kalimatku.
"Rania sahabatku sayaaaaaang... Dengerin yaa!!!. Aku termenung bukan karena aku banyak masalah. Diamku yang tadi kamu lihat, cuma kebetulan aja, kok. Percaya deh.!" senyumku menimpali kalimat terakhirku.
"Iya-iya aku percaya.! Oh ya Fit, aku datang ke sini mau cerita. Hari ini aku saangaaaat bahagia. Coba deh kamu tebak kenapa?" mata Rania begitu dalam melihat ke arahku.
"Emmm...sepertinya aku tahu. Pasti karena kak Rizki lagi, kan?" tebakku sambil tersenyum.
"Betul, Fit! tadi aku berpapasan dengannya di jalan. Dia nya lagi terburu-buru gitu. Kayaknya sih mau pergi ke sekolahnya. Seneng deh bisa melihat kak Rizki seperti itu. Siapa yang nggak tertarik sih sama cowok seperti dia? sudah baik hati, berbakti dengan orang tua, pintar pula. Bahkan kata adikku, dia jadi guru teladan di sekolahnya" kata Rania menjelaskan penuh semangat.
"Raniaku sayang, cukup yaa nyebut-nyebut nama kak Rizki. Soalnya, kasian dianya tersedak terus setiap hari" ketawa kecilku mulai bermunculan menghiasi percakapan kami berdua.
Seperti itulah sahabatku. Kepribadian Rania memang selalu terbuka kepadaku, dia selalu bercerita kepadaku apalagi tentang kak Rizki. Kak Rizki adalah tetanggaku, dia juga sebagai kakak kelas ku sejak SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Dulunya kami akrab bahkan bisa dikatakan sangat akrab, tak jarang orang menyebut kami seperti "kakak adik". Seiring berjalannya waktu, kami yang dulunya anak-anak sekarang sudah tumbuh menjadi pria dan wanita dewasa. Itu juga yang membuat pergaulanku dan kak Rizki semakin berjarak. Perubahan itu mulai terjadi sejak kami di bangku SMA. Tetap saling sapa, hanya saja sudah tak bisa seperti dulu lagi. Meskipun demikian, pada kenyataannya kekagumanku terhadap dirinya tak pernah memudar. Perasaan ini hanya aku dan Allah yang tahu. Bahkan sampai detik ini, Rania pun tak pernah tahu.
"Ya Allah, lindungilah dia. Berikan dia petunjukMu agar senantiasa selalu berada di jalanMu. Bahagiakanlah dia, dan lapangkanlah hatinya. Aamiin..." Begitulah doaku untuknya. Aku hanya menginginkan dia bahagia. Sebenarnya, jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam aku tak hanya sebatas mengaguminya saja, tapi aku juga menyayanginya sejak aku masih kecil. Entahlah, apakah itu sebuah rasa yang diberikan seorang adik untuk kakaknya, atau sebuah rasa dari seorang wanita untuk seorang pria yang dikaguminya. Meskipun aku begitu peduli dengannya, tapi aku tak pernah berharap sedikitpun dia membalas dengan takaran yang sama. Karena bagiku, cinta itu memberi bukan meminta.
"Teeeet, teeet, teeeeet." Bel sekolah sudah berdering, itu menandakan kalau aku dan sahabatku harus menghentikan obrolan ringan ini, dan bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
* * *
(Di rumah)
"Kamu kenapa, Dek?" tanyaku kepada adik bungsuku yang sedang duduk termenung di depan meja belajarnya.
"Nia sedih kak" jawabnya singkat sambil memeluk pinggangku.
"Loh kok, sedih.! Orang yang bergantung kepada Allah tak sepatutnya merasa sedih. Jadi, adeknya kakak jangan sedih lagi ya.." usapan tanganku mendarat di punggungnya sembari mendaratkan ciumanku di pucuk kepalanya.
"Makasih ya kak atas nasihatnya. Sebenarnya, Nia sedih karena Nia nggak bisa sepintar kakak. Padahal Nia sudah kerja keras untuk mengingat, berusaha rajin belajar setiap hari. Kalau begini terus, bagaimana masa depan Nia? Nia juga kepengen jadi guru seperti kakak" wajah adikku masih tampak jelas menunjukkan kemurungannya.
"Masa depan kita milik Allah, Dek. Kita tak pernah tahu apapun yang akan terjadi di kemudian hari. Selain rajin belajar, Nia juga harus rajin berdoaa, agar ikhtiar dan do'anya jadi seimbang. Percayalah! Permintaan iblis yg ingkar saja Allah qobulkan, apalagi permintaan adeknya kakak yang shalihah ini" pujiku padanya seraya mengelus lembut pipi gemoy miliknya. Nia adalah adikku yang terakhir. Dia gadis kecil yang shalihah. Meskipun dia baru kelas III SD, tapi dia sudah menjalankan ibadah wajib seperti mumayyiz pada umumnya. Dia menjalankan sholat, ikut berpuasa di bulan Ramadhan, rajin mengaji setiap hari, selalu jujur, dan bersikap santun dengan siapa saja. Aku sangat menyayanginya, bahkan melebihi rasa sayangku terhadap diriku sendiri.
* * *
Satu tahun kemudian. . .
"Saya terima nikahnya Rania Zulaikha binti Ahmad Maulana dengan mahar 100.000 rupiah, serta seperangkat alat sholat dibayar tunai" ucap kak Rizki terdengar lantang dan jelas, serta penuh kekhusyuan lewat alat pengeras suara. Jawaban "sah" oleh kedua saksi dan para undangan pun mulai terdengar bersahut-sahutan.
"Barokallahu lakuma, wa baraka 'alaikuma, wa jama'a bainakuma fii khaiir" bisikku pelan namun jelas terdengar di telinga Rania yang saat ini dengan erat menggenggam tanganku.
"Aamiin. Makasih ya Fit.! Aku sungguh beruntung mempunyai sahabat sepertimu." Sorotan mata Rania menampakkan kalau dia menyimpan banyak rasa yang mungkin tak bisa diungkapkan satu persatu. Salah satunya, mungkin karena tak enak hati akan meninggalkanku.
"Aku juga beruntung punya sahabat sepertimu, Ran. Ayolah, jangan pasang wajah seperti itu nanti aku juga ikut-ikutan sedih. Kebahagiaan kalian berdua, juga menjadi kebahagiaanku" tuturku menegaskan sembari kuberikan senyum terindah untuknya, dengan harapan hatinya akan tenang dan tak memikirkan tentang statusku yang masih sendiri. Kemudian, terdengar seseorang membuka gagang pintu dan bersuara: "Kak Rania, kakak dipanggil tuh.! katanya sih kakak harus keluar. Soalnya, sudah ditunggu buat penandatangan, dll." ungkap gadis di balik pintu yang tak lain adalah adik sulungku. "Oo, ya kak! kita pulang yuk, kan akad nikah kak Rania dan kak Rizki sudah selesai juga. Aku kurang enak badan nih" pintanya dengan memelas. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku sebagai tanda kalau aku menuruti permintaannya.
Amira adalah adik pertamaku, dia sekarang duduk di kelas II SMK. Dia sangat dekat denganku. Meskipun kami berdua sangat dekat. Namun, dia sangat menghormatiku sebagai kakaknya. Aku kerap kali menjadi pelipur lara baginya. Dia selalu menganggapku segalanya, terkadang bisa menjadi kakak, menjadi sahabat, dan juga menjadi ibu semenjak ibu meninggalkan kami untuk selamanya.
* * *
Ketika menuju parkiran motor roda dua, aku menggandeng tangan adikku.
"Kamu sakit apa, dek?" tanyaku penasaran.
"Dek, kamu sakit apa?" tanyaku lagi. Tanganku pun mulai meraba-raba bagian dahinya. Tapi adikku tetap diam dan tak menjawab pertanyaanku.
"Hmm...kakak lihat, kamu sedikit berubah akhir-akhir ini. Sepertinya ada yang kamu sembunyikan dari kakak. Ada apa dek?" tanyaku lagi dan lagi.
"Aku nggak suka melihat senyum kakak. Aku tahu kakak sedih. Kak, aku bukan anak kecil lagi yang belum bisa membaca situasi" tangis adikku pecah. Aku pun langsung mengajak adikku untuk berlalu dari kediaman Rania. Ku jalankan motorku dengan pelan dan penuh kehati-hatian.
Adikku mulai menyandarkan kepalanya ke bagian punggungku sambil menangis sesenggukkan. Aku menghentikan motorku di taman kota yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Rania. Setelah itu aku membimbing adikku untuk menuju salah satu kursi di taman tersebut.
"Apa maksud kamu bicara seperti itu kepada kakak, Dek?" tanyaku bingung.
"Kakaaaak.." adikku langsung memelukku dengan erat.
"Maaf sebelumnya, jika sikapku membuat kakak kecewa. Dulu, entah kapan tanggalnya aku lupa. Aku nggak sengaja menemukan diary kakak di dalam kamar kakak. Aku begitu penasaran dengan isinya. Tanpa sepengetahuanmu, aku membaca isinya." air mata adikku terus mengalir.
"Jadi. . ." aku kaget mendengar pengakuan adikku.
"Iya kak, aku sudah tahu isi hatimu. Aku tahu perasaanmu. Aku tahu kalau kakak juga menyukai kak Rizki. Itu sebabnya aku tak begitu semangat mengikuti acara munakahat kak Rania dan kak Rizki hari ini. Aku nggak ingin melihat kakak kebanggaanku terluka."
"Kakak sebenarnya sedikit kecewa dengamu. Sejak kapan adeknya kakak bersikap nggak sopan seperti itu? Bukan kah sudah sering kakak menasehati kamu dan Nia agar selalu bersikap sopan dengan siapapun, dan jangan sampai menyentuh barang pribadi milik orang lain tanpa sepengetahuannya, entah itu handphone atau pun barang lainnya, termasuk buku harian (diary). Tapi, sudahlah.! semuanya sudah terlanjur. Lain kali jangan diulangi lagi ya, Dek" ujarku dengan pelan, yang diikuti anggukan kepala adikku. Aku pun mengusap air mata di sudut matanya dan mulai menenangkan kondisinya.
"Kak, bagaimana perasaanmu sekarang?" adikku mulai mengangkat wajahnya dan menatap lekat ke mataku.
"Perasaan kakak? Kakak baik-baik aja, tuh. Kenapa?" aku balik bertanya kepada adikku sambil menghambur senyum kepadanya.
"Kakak nggak sakit, nggak sedih?" adikku bertanya dengan sungguh-sungguh.
"Kenapa harus sedih, Dek? Yang namanya jodoh itu kan sudah diatur oleh Allah. Kita sendiri tak bisa menolak dan memilih jodoh kita kelak. Oleh sebab itu, kita sebagai seorang mu'min hanya bisa berusaha dan meminta kepada Allah agar diberi jodoh yang terbaik.
"Aku takut, kalau kakak merasa tersakiti akibat kejadian yang menimpa kakak saat ini" lagi-lagi adikku menyeka air matanya yang mulai berjatuhan lagi.
"Adikku sayang, Allah itu mempunyai tiga pilihan dalam menjodohkan hambaNya. Yang pertama adalah cepat mendapatkan jodoh, yang kedua lambat mendapatkan jodoh tapi suatu saat pasti akan mendapatkan jodoh tersebut, dan yang ketiga adalah tak mendapatkan jodoh di dunia tapi mendapatkan jodoh di akhirat kelak. Kakak yakin, apapun pilihan Allah, pasti itu pilihan yang terbaik untuk kakak. Jadi, kamu jangan memikirkan kakak lagi. Kakak baik-baik aja"
"Tapiiii, selama ini kakak selalu menyebut nama kak Rizki di dalam do'a kakak" ucap adikku masih penasaran dengan diriku.
"Dengar ya dek, jika nama yang sering kakak sebut bukan jodohnya kakak. Semoga jodoh kakak kelak adalah orang yang sering menyebut nama kakak dalam do'anya."
"Kalau aku boleh tahu, kenapa kakak begitu rela melepaskan kak Rizki? Kakak malah mendukung mereka berdua, dan bahkan berusaha untuk menyatukan. Padahal, yang kakak lakukan itu bisa membuat peluang kakak menjadi hilang" adikku terisak pilu selesai melontarkan pertanyaan demi pertanyaan untukku. Mendengar pertanyaan adikku, aku terdiam sejenak. Kemudian, aku mulai menarik nafas dalam-dalam seraya menghembuskannya secara perlahan.
"Kakak seperti itu, karena kakak sangat menyayangi mereka berdua. Kakak tahu kalau kak Rania sangat menyukai kak Rizki. Kakak yakin, kalau kak Rizki bersamanya, maka kak Rizki akan bahagia karena dicintai secara ugal-ugalan oleh isterinya. Lagi pula, kakak sudah menganggap kak Rania seperti saudara kakak sendiri. Karena cinta kepada saudara, sahabat pun rela menafkahkan jiwa. Mama kak Rania juga baik bangetkan sama kita? Kakak nggak ingin menghancurkan kegembiraan mereka semua, Dek. Lagipula, selama ini kakak nggak pernah tahu perasaan kak Rizki terhadap kakak. Kakak juga nggak yakin perasaan ini akan berbalas atau sebaliknya. Kamu jangan pikirkan kakak lagi ya. Insya Allah, kakak baik-baik aja." Setelah memberikan penjelasan begitu panjang, aku langsung mengakhiri dengan memberikan pelukan kepada adikku.
"Hati kakak memang begitu tulus. Sekarang, aku baru bisa memahami arti sebuah ketulusan cinta. Cinta yang tulus adalah cinta yang tak mengharap balasan. Kalau kita masih berharap untuk dibalas, itu artinya cinta kita masih belum tulus. Benarkan kak?"
"Iiih..kamu.! Ternyata adik kakak yang satu ini sudah pintar men-copy paste kalimat andalan kakak". Aku langsung mencubit gemes hidung adikku.
"Ayah dan bunda memang nggak pernah salah. Hati kakak suci, bersih, sesuai dengan nama pemberian mereka berdua (Fitri). Aku yakin, Allah pasti memberikan seseorang yang lebih baik untuk kakak. Jodoh kakak nanti, pasti dia yang sering menyebut nama kakak di dalam do'anya" ucap adikku dengan serius. Setelah itu, dia membisikkan kata-kata yang menyentuh hati dan membuatku bahagia.
"Kakak, aku bahagia memilikimu. Amira saaaaayang kakak" ungkapnya dengan bangga. Aku pun tersenyum bahagia melihat tingkah manja adikku. Dia pun kini mencium pipiku dan semakin erat memelukku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI