Bingung? Tenang, saya juga sama bingungnya. Mari kita skip pembicaraan ke arah itu.
Kembali ke warna merah, mengapa itu dipilih? Konon itu adalah warna cover Code Penal, yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1810, yang juga dipergunakan oleh bangsa Belanda, di mana Prancis menjadi penguasa Belanda saat itu. Jadi kita dijajah siapa Belanda atau Prancis nih di tahun 1810?
Meski di tahun 1813 Prancis hengkang dari Belanda tetap saja Code Penal dipakai sampe 1886, meski sejak 1881 sudah menyusun penggantinya dengan membuat Wetboek van Strafrecht (WvS) sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Di Indonesia, WvS diberlakukan atas dasar Koninklijk Besluit (Titah Raja) nomor 33 pada tanggal 15 Oktober 1915, dengan nama Stafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) tetapi mulai berlaku 1 januari 1918. Isinya sih sama dengan WvS, namun dengan penerapan azas konkordansi, untuk diterapkan di negeri jajahan maka ada penyesuaian di beberapa pasal.
Setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan pasal II aturan Peralihan UUD 1945,WvSNI tetap diberlakukan, dituangkan dalam UU No.1/1946 dengan penyebutan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan masih sampai sekarang dipakai di mana RUU KUHP masih digodog terus, bahkan beberapa pasal yang dianulir di MK malah muncul lagi di rancangannya, bahkan pasal kumpul kebo pun ada, karena marak pelakor, masuk juga tuh diranah KUHP. Makin panjang lah daftar kejahatan dan pelanggaran yang diancam pidana di Indonesia, yang artinya membuat BPS akan berfikir keras menyusun statistik kriminal dan merombak format yang sudah bertahun-tahun dipakai.
Bahkan seorang pengacara mahal banget sampai mengajak suami istri selebriti untuk makan bak pao dan minum kopi cuma untuk membahas kehebatan Code Penal yang dibuat para ahli hukum Prancis berabad-abad lalu.
"Jadi buat apa kalo Indonesia buat KUHP baru, udah pakai aja yang ada sekarang udag bagus banget," begitu kira-kira komen beliau.Â
Bang, eh Pak, eh salah lagi yang terhormat senior (lah kok aku ngaku-ngaku), di negerinya aja undang-undangnya sudah dirombak berapa kali. Mau nangis nih emak-emak, geleng-geleng kepala karena banyak calon advokat atau advokat muda mendewakan Anda loh, lebih dari sekadar role model.
Ah..syudahlah jika dibaca orang itu bisa-bisa masuk vlog nanti aku, nanti dikira emak-emak numpang tenar.
Waduh, sudah panjang lebar aja, sudah dapet benang merahnya? Belum? Cari lagi dong. Kan lagi bicara merah, kucing dan undang-undang nih.

Baiklah, sebenarnya omelan ini dimulai dengan berita online yang sliweran soal denda catcalling di Prancis, bukan hanya di obrolan on line tetapi juga menjadi obrolan offline. Rata-rata isi komentarnya yang muncul "Coba di Indonesia diberlakukan ya," atau yang agak melek literasi akan komen "Ini kemajuan, salah satu bentuk keadilan restoratif", (jiahh....padahal konsep keadilan restoratif yang sedang happening di dunia barat sana itu adalah bentuk keadilan dunia timur dari zaman pasca berburu dan meramu), dan yang merasa kritis akan bilang "Sial, bahkan untuk sanksi pun kejahatan terhadap perempuan menjadi komoditas".
Aku harus komentar apa ya? Soal denda dalam pelecehan seksual terhadap perempuan itu nenek (moyang) kita sudah menerapkan kok, bahkan terkodifikasi.