Harga Diri, Cahaya, dan Kuasa: Tiga Cermin dalam Senyum Karyamin (3)
“Kadang yang paling waras justru mereka yang tampak gila di mata orang ramai.” — Ahmad Tohari
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pernahkah kita bertanya: seberapa jauh manusia rela kehilangan akal demi menjaga kehormatan, keyakinan, atau kuasa? Pertanyaan itu terasa menggelitik saat membaca tiga cerpen dari kumpulan Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari: “Blokeng”, “Rumah yang Terang”, dan “Kenthus.” Tiga kisah ini bukan sekadar cerita wong cilik, tapi potret kehidupan yang dekat dengan kita semua—antara nalar dan gengsi, antara keyakinan dan kesadaran, antara cita dan kuasa.
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Senyum Karyamin sudah lama menjadi semacam ensiklopedia moral kehidupan desa. Lewat bahasanya yang sederhana namun tajam, Tohari menulis manusia dengan segala keanehannya—kadang lucu, kadang getir, tapi selalu manusiawi. Ia tidak memotret kemiskinan semata, melainkan keserakahan, kepura-puraan, dan kebijaksanaan yang muncul dari tempat paling sunyi.
Tiga cerpen pilihan ini terasa semakin relevan di masa kini. Di tengah masyarakat yang makin “modern” tapi juga makin mudah saling menuduh, menertawakan, dan memamerkan kuasa, Tohari seakan berbisik: kehormatan sejati bukan pada status atau cahaya buatan, melainkan pada kejujuran hati. Dan tiga tokoh ini—Blokeng, Haji Bakir, dan Kenthus—menjadi simbol paling jujur dari kegetiran itu.
Tiga kisah ini berdiri sendiri, tapi bernafas dalam satu semesta yang sama: kampung dengan segala kelucuannya, sekaligus kaca benggala dari watak manusia yang tak lekang oleh zaman.
1. Blokeng: Satir Tentang Harga Diri yang Konyol
Blokeng bukan perempuan biasa. Ia miskin, sederhana, dan polos, tapi kejujurannya justru membuat satu kampung kehilangan logika. Ahmad Tohari menggambarkan suasana kampung yang gaduh dengan ironi lembut: orang-orang yang sibuk menjaga citra justru menelanjangi kebodohan mereka sendiri.