Cerita ini terasa akrab di era media sosial. Kini, gosip tak lagi beredar di warung kopi, tapi di kolom komentar. Fitnah menyebar lebih cepat dari klarifikasi. “Kampung Blokeng” hidup di dunia digital: tempat orang ramai menuduh tanpa bukti, hanya demi menjaga rasa benar sendiri.
Pesan reflektifnya jelas: Blokeng mungkin dianggap bodoh, tapi justru dialah yang paling waras. Ia tidak membenci, tidak membela diri—ia hanya jujur. Ahmad Tohari mengingatkan kita bahwa kejujuran polos sering kali lebih luhur daripada kepandaian yang penuh kepura-puraan.
2. Rumah yang Terang: Ketika Iman Bertemu Modernitas
Cerpen ini memantulkan dilema manusia modern: antara keyakinan dan kemajuan. Haji Bakir menolak listrik karena takut kehilangan kesucian cahaya. Bagi sebagian orang, keyakinannya tampak kuno, bahkan lucu. Tapi Tohari tak menulisnya sebagai bahan ejekan, melainkan sebagai cermin dari ketulusan iman yang tak mau dikalahkan zaman.
Dalam konteks kini, “Rumah yang Terang” terasa menohok. Kita hidup di era serba terang—semua disorot, semua ditampilkan—tapi hati manusia sering tetap gelap. Listrik, layar, dan media hanya memberi cahaya buatan. Ahmad Tohari ingin mengatakan: kadang kita butuh sedikit gelap untuk menemukan cahaya sejati.
Pesan cerpen ini lembut tapi dalam. Modernitas bukan musuh, tapi juga bukan segalanya. Yang menentukan bukan seberapa terang rumah kita, melainkan seberapa jernih hati kita saat memandang dunia.
3. Kenthus: Ketika Luka Kecil Menjadi Hasrat Berkuasa
Kenthus adalah wajah lain dari manusia desa—yang selama hidupnya dipinggirkan, lalu tiba-tiba merasa besar saat diberi sedikit jabatan. Ahmad Tohari menulis kisahnya dengan nada getir dan jenaka. Kenthus bukan jahat; ia hanya haus harga diri. Tapi dari haus itu lahir kesombongan yang menular.
Cerpen ini seperti sindiran lembut bagi birokrasi kita hari ini. Banyak “Kenthus-Kenthus kecil” yang bermimpi menunggang macan kekuasaan, tapi akhirnya justru dimakan oleh macan itu sendiri. Tohari menangkap sisi paling rapuh dari manusia: bahwa kuasa sering muncul dari luka yang tak sembuh.
Refleksi moralnya menggugah: kekuasaan bukan tempat untuk balas dendam, melainkan ujian untuk tetap rendah hati. Kenthus mengajarkan, siapa pun bisa kehilangan kemanusiaannya jika terlalu sibuk menjadi “orang penting.”