UU Pers dan Etika Kekuasaan
Pernyataan PWI Pusat menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar administrasi liputan, melainkan pelanggaran prinsip etis dan legal. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyebutkan, siapa pun yang menghambat kerja jurnalistik dapat dikenai pidana dua tahun atau denda hingga Rp500 juta. Namun lebih dari itu, persoalan ini menyentuh etika kekuasaan—bagaimana pemerintah memperlakukan kritik dan pertanyaan.
Etika kekuasaan menuntut sensitivitas terhadap hak publik dan tanggung jawab moral pejabat negara. Presiden atau lembaga negara yang terbuka terhadap pertanyaan kritis menunjukkan kedewasaan demokrasi. Sebaliknya, menolak atau membungkam pertanyaan justru menandakan ketakutan terhadap transparansi.
Dalam situasi seperti ini, perlu ada ruang dialog terbuka antara Biro Pers Sekretariat Presiden dan organisasi media. Klarifikasi publik bukan sekadar formalitas, melainkan wujud penghormatan terhadap konstitusi dan etika komunikasi publik.
Krisis Kepercayaan dan Peran Media Independen
Krisis kepercayaan publik terhadap institusi politik seringkali dimulai dari kecilnya ruang untuk bertanya. Masyarakat yang merasa informasinya dibatasi akan cenderung berspekulasi, menciptakan disinformasi, dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Dalam konteks ini, media independen menjadi penting sebagai penyeimbang narasi negara. CNN Indonesia, seperti media lain, memiliki tanggung jawab profesional untuk bertanya hal-hal substantif, termasuk kebijakan MBG yang menyentuh hajat hidup rakyat banyak.
Menutup pintu bagi jurnalis justru kontraproduktif terhadap citra kepemimpinan. Publik modern menilai integritas bukan dari seberapa sering seorang pemimpin berbicara, melainkan dari seberapa siap ia mendengar pertanyaan.
Demokrasi Bukan Ruang Aman dari Kritik
Demokrasi tidak pernah dimaksudkan sebagai ruang yang steril dari kritik. Sebaliknya, ia tumbuh dari keberanian bertanya dan keterbukaan menjawab. PWI Pusat mengingatkan bahwa menjaga kebebasan pers sama artinya dengan menjaga kesehatan demokrasi itu sendiri.
Kebijakan yang tidak siap diuji di ruang publik menandakan lemahnya legitimasi moral. Karena itu, pejabat publik perlu memandang jurnalis bukan sebagai lawan, melainkan mitra dalam menyampaikan informasi yang akurat kepada rakyat.