Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Canting: Saat Tradisi Ditinggalkan, Apa yang Tersisa?

24 September 2025   21:21 Diperbarui: 24 September 2025   21:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Tradisi hanya hidup bila diwariskan dengan hati, bukan sekadar simbol." (Dok. Bukukita.com)

Anak-anak mereka tumbuh dengan jalan masing-masing: Wahyu menjadi dokter yang modern dan rasional, Ismaya meniti karier militer yang disiplin, sementara Ni tumbuh sebagai sosok yang penuh gejolak. Bu Bei mengharapkan anak-anaknya menjaga tradisi, khususnya batik yang diwariskan turun-temurun.

Konflik meledak saat Ni menolak warisan keluarga. Ia hidup bebas, abai pada tradisi, bahkan merusak usaha batik yang menjadi simbol keluarga. Keputusan Ni memicu pertentangan generasi yang keras: antara idealisme modern dengan kesetiaan pada nilai leluhur.

Akhirnya, Canting memotret pahitnya kenyataan: simbol tradisi itu perlahan kehilangan makna di mata generasi muda. Bu Bei dan keluarganya harus menerima bahwa zaman bergerak, dan mempertahankan tradisi membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata—ia menuntut kesediaan untuk mewariskannya dengan penuh kesadaran.

Tradisi dan Simbolisme Canting

Canting hadir bukan sekadar alat membatik, melainkan simbol perjalanan hidup. Arswendo menggunakannya sebagai metafora warisan budaya yang rapuh bila tak dijaga. Dalam keluarga Bu Bei, canting adalah napas, tetapi bagi Ni, ia hanyalah benda mati tanpa arti.

Novel ini menyingkap betapa tradisi sering kali dipertahankan dengan rasa hormat yang tulus, namun bisa runtuh oleh sikap abai. Canting menjadi saksi bisu pergeseran nilai dari generasi ke generasi. Bukan semata kain batik yang dipertaruhkan, melainkan keberlanjutan sebuah identitas.

Refleksinya jelas: tradisi hanya bertahan bila diwariskan dengan hati. Jika generasi muda tak diberi ruang untuk memahami makna, canting akan hilang ditelan zaman. Arswendo memperingatkan kita dengan lembut namun tegas.

Pergulatan Kelas Sosial

Pernikahan Tuginem dan Pak Bei mempertemukan dua dunia yang berbeda. Priyayi dan wong cilik dipertemukan dalam meja makan dan dapur, dalam doa dan batik. Namun perbedaan itu bukan tanpa luka.

Pak Bei, meski bangsawan, memilih menolak tradisi keraton demi mempertahankan nurani. Tuginem, meski wong cilik, hadir sebagai penjaga nilai yang tak ternilai. Perbedaan status sosial menjadi jembatan, bukan penghalang.

Di sinilah Arswendo menunjukkan kepekaannya: kelas sosial bukan sekadar hierarki, tetapi arena perjumpaan nilai. Dan dalam perjumpaan itulah lahir makna baru yang lebih manusiawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun