Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Canting: Saat Tradisi Ditinggalkan, Apa yang Tersisa?

24 September 2025   21:21 Diperbarui: 24 September 2025   21:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Tradisi hanya hidup bila diwariskan dengan hati, bukan sekadar simbol." (Dok. Bukukita.com)

Generasi dan Konflik Nilai

Wahyu, Ismaya, dan Ni mewakili wajah generasi yang berbeda. Wahyu rasional, Ismaya disiplin, Ni penuh pemberontakan. Setiap anak memikul tafsirnya sendiri terhadap tradisi. Dari perbedaan itulah lahir benturan pandangan yang tak pernah sederhana.

Konflik tajam muncul ketika Ni memilih kebebasan di atas warisan. Ia melawan bukan karena benci, melainkan karena ingin menjadi dirinya sendiri. Namun dalam keputusannya, ia lupa bahwa kebebasan tanpa akar sering kehilangan arah. Di titik ini, kita diajak menimbang: kebebasan ataukah warisan yang lebih berharga?

Arswendo melalui Ni memperlihatkan dilema generasi muda: antara menghormati masa lalu atau membangun masa depan. Pertanyaan itu hingga kini tetap menggelitik kita. Mungkin, jawabannya tidak pada salah satu, melainkan pada keberanian merangkul keduanya.

Batik, Identitas, dan Modernitas

Batik bukan sekadar kain. Ia identitas, doa, bahkan perlawanan. Dalam Canting, batik menjadi benang merah yang mengikat keluarga, simbol nilai, sekaligus sumber konflik. Setiap helai kain seakan menyimpan kisah yang tak bisa ditawar oleh waktu.

Ketika Ni menolak batik, sesungguhnya ia menolak identitas keluarga. Keputusan itu menyakitkan, bukan hanya bagi orang tua, tapi juga bagi budaya yang melekat dalam setiap goresan malam. Penolakan itu seperti mencabut akar pohon yang masih kokoh menancap di tanah.

Arswendo mengingatkan bahwa modernitas bukan alasan untuk menanggalkan akar. Justru, identitaslah yang membuat modernitas memiliki warna khas Indonesia. Tanpa identitas, modernitas hanya akan menjadikan kita penonton di panggung global.

Nilai Moral dan Relevansi untuk Pendidikan Karakter

Apakah mungkin siswa mencintai batik bila mereka hanya mengenalnya sebagai seragam, bukan sebagai napas tradisi seperti dalam keluarga Bu Bei? Pertanyaan ini menantang kita untuk melihat kembali cara pendidikan menanamkan penghormatan pada budaya, apakah sekadar simbol, ataukah sungguh menjadi bagian dari jati diri.

Bukankah keteguhan Tuginem dalam mengabdi pada keluarga memberi pelajaran tentang tanggung jawab, yang justru sering kali luput dari pendidikan formal? Jika sekolah hanya menekankan capaian akademis, di manakah ruang untuk menumbuhkan sikap ikhlas, setia, dan peduli sebagaimana dicontohkan dalam Canting?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun