Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revitalisasi Situ Ciburuy, Haruskah Warga Membayar dengan Air Mata?

19 September 2025   09:06 Diperbarui: 19 September 2025   09:06 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penertiban 100 bangunan liar di Situ Ciburuy, KBB, gusur rumah, masjid, dan sekolah demi proyek revitalisasi danau. /Kontributor PR /Deni Supriatna

Pesannya sederhana, tetapi mendalam: revitalisasi tanpa humanisasi hanya menghasilkan ketidakadilan yang terlegitimasi oleh aturan. Situ Ciburuy adalah contoh nyata bagaimana proyek besar bisa memicu luka sosial bila pemerintah tidak menyertakan pendekatan empati. Maka, pembenahan ruang harus berjalan seiring dengan penataan hati dan nasib warga.

2. Masjid, Madrasah, dan Sekolah: Simbol yang Tergusur

Masjid, madrasah, dan sekolah bukan sekadar bangunan, melainkan simbol kehidupan spiritual, pendidikan, dan masa depan generasi muda. Ketika fasilitas ini masuk daftar pembongkaran, keresahan warga pun semakin nyata. Meski pemerintah menunda eksekusi fasilitas umum sambil menunggu lokasi pengganti, trauma sosial sudah telanjur mengakar.

Kritik yang muncul adalah minimnya perencanaan transisi. Bagaimana nasib anak-anak yang harus tetap belajar? Bagaimana warga bisa tetap beribadah dengan tenang? Pertanyaan ini menuntut jawaban konkrit, bukan sekadar janji. Sebab, menunda pembongkaran tanpa memberi alternatif bukanlah solusi, melainkan perpanjangan ketidakpastian.

Refleksinya, pembangunan haruslah melindungi simbol-simbol kehidupan kolektif. Menggusur masjid dan sekolah tanpa menyediakan pengganti adalah sama dengan meruntuhkan tiang penyangga masyarakat. Maka, pemerintah perlu menjadikan fasilitas umum sebagai prioritas, bukan korban dari proyek penataan ruang.

3. Warga Kecil di Tengah Mesin Negara

  Neneng (53) menghadang alat berat saat penggusuran permukiman warga di bantaran Situ Ciburuy, KBB.(KOMPAS.com/BAGUS PUJI PANUNTUN)
  Neneng (53) menghadang alat berat saat penggusuran permukiman warga di bantaran Situ Ciburuy, KBB.(KOMPAS.com/BAGUS PUJI PANUNTUN)

Kisah Neneng, seorang warga yang memohon bantuan sewa sementara, menggambarkan wajah riil masyarakat kecil dalam menghadapi mesin negara. Ia paham tanah itu milik pemerintah, tetapi ia juga menegaskan bahwa manusia tetap butuh ruang hidup sementara. Tangisan dan teriakannya adalah simbol keterdesakan yang tidak bisa diabaikan.

Kritiknya jelas: negara belum sepenuhnya menghadirkan solusi kemanusiaan dalam kebijakan. Kebijakan yang kaku membuat warga kecil terjepit antara regulasi dan kebutuhan hidup nyata. Mereka hanya bisa pasrah menyaksikan rumahnya hancur, tanpa kepastian tentang hari esok.

Refleksinya, suara warga seperti Neneng harus menjadi kompas dalam setiap kebijakan publik. Pembangunan haruslah mengutamakan manusia sebagai subjek, bukan sekadar objek. Sebab, apa arti danau yang indah bila warganya hidup dengan air mata?

4. Hukum, Legalitas, dan Legitimasi Moral

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun