Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revitalisasi Situ Ciburuy, Haruskah Warga Membayar dengan Air Mata?

19 September 2025   09:06 Diperbarui: 19 September 2025   09:06 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  Neneng (53) menghadang alat berat saat penggusuran permukiman warga di bantaran Situ Ciburuy, KBB.(KOMPAS.com/BAGUS PUJI PANUNTUN)

Revitalisasi Situ Ciburuy, Haruskah Warga Membayar dengan Air Mata?

"Ketika pembangunan menata ruang, jangan biarkan hati manusia ikut runtuh."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah revitalisasi selalu seindah namanya ketika berhadapan dengan kehidupan manusia? Pada Kamis, 18 September 2025, kawasan Situ Ciburuy, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, menjadi saksi pilu ketika 100 bangunan liar, termasuk rumah, masjid, madrasah, hingga sekolah, mulai dibongkar. Deru mesin ekskavator berpadu dengan suara logam beradu, membuat bangunan yang kokoh bertahun-tahun roboh dalam hitungan menit. Asap debu mengepul, menyelimuti pandangan, sementara warga berteriak dan menangis tak kuasa menahan perih melihat rumah, sekolah, dan masjid mereka diluluhlantakkan. Anak-anak menggenggam erat buku sekolahnya, seolah tak rela berpisah dari ruang belajar yang sebentar lagi hanya tinggal puing.

Revitalisasi danau ini memang bagian dari upaya mengembalikan fungsi Situ Ciburuy sebagai kawasan wisata dan penampungan air. Namun, di balik proyek senilai Rp34,7 miliar ini, tersisa persoalan sosial yang tak kalah serius: rumah tangga kehilangan tempat tinggal, anak-anak terancam kehilangan sekolah, dan masyarakat kehilangan ruang ibadah. Maka, isu ini relevan dengan pertanyaan mendasar: bagaimana negara menyeimbangkan pembangunan dengan kemanusiaan?

Penulis tertarik membahas peristiwa ini karena kisah Situ Ciburuy merepresentasikan dilema klasik pembangunan di Indonesia. Ketika negara mengejar target fisik, masyarakat sering kali terpaksa menanggung dampak sosial-psikologisnya. Di sinilah urgensi artikel ini: menelaah kritik, pesan, dan refleksi dari pembongkaran bangunan liar demi revitalisasi, agar pembangunan tidak hanya meninggalkan beton, tetapi juga rasa keadilan.

1. Wajah Revitalisasi: Antara Estetika dan Air Mata

Revitalisasi Situ Ciburuy memang berangkat dari niat baik: memulihkan fungsi danau agar kembali menjadi ikon wisata sekaligus wadah penampungan air. Namun, proses penertiban 100 bangunan liar dengan alat berat menghadirkan drama sosial yang menyayat hati. Warga menangis histeris, memohon bantuan sewa sementara, sementara alat berat tak henti merobohkan bangunan.

Kritiknya jelas: pembangunan yang berorientasi fisik kerap mengabaikan sisi kemanusiaan. Apakah estetika wisata lebih penting daripada kenyamanan keluarga yang tercerabut dari rumahnya? Pertanyaan ini mengajak kita merefleksikan apakah konsep revitalisasi sudah benar-benar inklusif. Pembangunan semestinya tidak hanya tentang ruang yang indah, melainkan juga tentang manusia yang berhak hidup layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun