2. Kritik dalam Distribusi Keadilan
Kisah lain datang dari pembagian harta rampasan perang. Nabi SAW memberi bagian lebih besar kepada para mualaf untuk memperkuat iman mereka. Namun, sebagian kaum Ansar merasa tersisih dan mengeluhkan ketidakadilan.
Alih-alih menegur keras, Nabi mengumpulkan mereka. Beliau mengingatkan jasa besar kaum Ansar dalam perjuangan Islam dan menegaskan cinta kasihnya. Kata-kata penuh kasih itu membuat mereka menangis dan puas menerima keputusan.
Kritik yang lahir dari perasaan terabaikan dijawab dengan komunikasi yang menenangkan. Pelajaran ini menekankan pentingnya memahami akar kritik: sering kali bukan substansi, melainkan rasa tidak diperhatikan.
3. Menolak Defensif, Memilih Reflektif
Nabi SAW tidak pernah membalas dendam pribadi. Menurut Aisyah RA, beliau hanya marah jika hukum Allah dilanggar, bukan karena kepentingan pribadi. Inilah ketegasan spiritual yang membedakan antara ego dan prinsip.
Sikap reflektif ini sangat relevan dalam kehidupan modern. Banyak orang gagal membedakan kritik terhadap kinerja dengan serangan pribadi. Akibatnya, muncul sikap defensif yang merugikan diri dan orang lain.
Teladan Nabi SAW mengajarkan: kritik adalah cermin untuk evaluasi, bukan ancaman untuk harga diri. Dengan refleksi, kritik justru bisa menjadi sumber pertumbuhan.
4. Kritik sebagai Jalan Edukasi
Dalam setiap kesempatan, Nabi Muhammad SAW menjadikan kritik sebagai jalan untuk mendidik umat. Beliau tidak hanya menyelesaikan masalah sesaat, melainkan mengubah pola pikir pengkritiknya. Zaid ibn Sun’ah yang awalnya kasar justru akhirnya masuk Islam karena menyaksikan akhlak Nabi.
Ini menunjukkan bahwa kritik bisa menjadi pintu hidayah. Bukan sekadar diselesaikan dengan argumen, tetapi dengan teladan nyata dalam perilaku. Akhlak jauh lebih kuat dibanding sekadar logika.