Kasus ini menjadi contoh nyata betapa rentannya percakapan digital terhadap salah tafsir. Kata-kata bisa membakar, tetapi bisa juga menjembatani. Maka, memahami etika bermedia sosial bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
Jalan Damai yang Ditempuh
Pada 13 September 2025, Ferry Irwandi mengunggah pernyataan damai di akun Instagram pribadinya. Ia mengaku sudah berbicara langsung dengan Brigjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah. Dari pertemuan itu, keduanya saling bermaafan dan menegaskan kepercayaan bahwa TNI tetaplah garda penjaga rakyat.
Langkah ini bukan sekadar mengakhiri polemik pribadi, tetapi juga menurunkan suhu publik. Bayangkan jika kasus ini terus bergulir di jalur hukum—maka riuhnya bisa menambah ketegangan antara masyarakat sipil dan institusi pertahanan. Damai adalah opsi yang lebih bijaksana.
Pesan yang tersirat jelas: komunikasi personal bisa lebih ampuh dibandingkan perdebatan panjang di ruang publik. Dialog terbukti mampu mematahkan prasangka yang sempat membesar.
Kritik dan Catatan Hukum
Meski berakhir damai, sejumlah lembaga seperti ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menilai TNI sempat melangkahi kewenangan jika benar-benar melanjutkan laporan hukum. Kritik ini menegaskan bahwa institusi besar tetap perlu berada dalam koridor hukum sipil. Supremasi hukum harus dijaga agar tidak mencederai demokrasi.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa undang-undang, khususnya UU ITE, masih menyimpan celah tafsir yang rawan dipakai sebagai alat represi. Karena itu, pembacaan kritis masyarakat sipil tetap penting sebagai mekanisme kontrol. Kebebasan berekspresi memang bukan kebebasan absolut, tetapi harus tetap dilindungi.
Refleksi yang lahir dari sini adalah urgensi revisi aturan hukum agar selaras dengan prinsip demokrasi. Hukum seharusnya menegakkan keadilan, bukan sekadar mempertahankan gengsi.
Peran Media dan Persepsi Publik