Damai di Ujung Polemik Ferry dan TNI
“Kadang, kesalahpahaman hanyalah ujian bagi kebijaksanaan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah setiap konflik publik harus berakhir di meja hukum? Pertanyaan ini kembali menggema setelah polemik antara CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mencuat ke permukaan. Pada 14 September 2025, Kompas.com memuat laporan berjudul “Polemik Ferry Irwandi dan TNI Berakhir Damai, Apa Akar Masalahnya?” yang menyoroti dinamika ini.
Berita tersebut muncul setelah dugaan pencemaran nama baik sempat membuat hubungan keduanya memanas. Namun, di balik tensi yang tinggi, ternyata ruang dialog masih terbuka. Bagi penulis, inilah sisi menarik: ketika pertarungan narasi publik bisa berubah menjadi momentum rekonsiliasi.
Isu ini relevan dengan konteks lebih luas: bagaimana negara, masyarakat, dan individu menyikapi kebebasan berpendapat di ruang digital. Apa batasan kritik? Bagaimana institusi menjaga wibawanya tanpa meredam suara warga? Pertanyaan-pertanyaan ini mendesak untuk kita refleksikan bersama.
Akar Konflik dalam Ruang Digital
Polemik bermula dari unggahan Ferry di media sosial yang dinilai mengandung provokasi dan framing negatif terhadap TNI. Empat perwira tinggi TNI bahkan sempat mendatangi Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya untuk konsultasi hukum. Langkah ini memperlihatkan seriusnya institusi menjaga kehormatan dan stabilitas di tengah sorotan publik.
Namun, respons publik juga beragam. Sebagian menganggap TNI terlalu jauh melangkah karena institusi, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik. Inilah titik tarik menarik: di satu sisi ada hak institusi menjaga kehormatan, di sisi lain ada batasan hukum yang menegaskan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.