Menyamakan harga tanpa membenahi logistik hanya akan melahirkan distorsi pasar baru. Beras di Papua, misalnya, secara alami lebih mahal karena ongkos distribusi yang tinggi. Jika dipaksa disamakan, maka risiko kelangkaan atau penimbunan akan semakin besar.
Refleksinya, kebijakan pangan harus menyesuaikan dengan konteks wilayah, bukan sekadar meniru model “satu harga” ala bahan bakar. Solusi elegan adalah memperkuat infrastruktur logistik, bukan sekadar menyatukan angka di atas kertas.
5. Jalan Panjang Menuju Keadilan Pangan
Kenaikan HET beras hanyalah salah satu langkah kecil dari jalan panjang reformasi pangan nasional. Persoalan beras di Indonesia bukan hanya harga, melainkan juga tata kelola lahan, ketahanan petani, distribusi pupuk, hingga ketersediaan teknologi pasca-panen. Tanpa pembenahan menyeluruh, kebijakan harga akan selalu tambal sulam.
Di sinilah pentingnya keberanian politik untuk menempatkan pangan sebagai prioritas utama pembangunan nasional. Bukan hanya lewat kebijakan sesaat, melainkan lewat strategi jangka panjang yang melibatkan petani, pedagang, dan konsumen dalam satu ekosistem yang sehat.
Refleksinya jelas: pangan adalah soal martabat bangsa. Tidak ada gunanya pertumbuhan ekonomi tinggi bila rakyatnya masih kesulitan membeli beras.
Penutup
Menaikkan HET beras mungkin tampak sebagai solusi cepat, tetapi jelas bukan jawaban menyeluruh bagi kompleksitas persoalan pangan nasional. Kebijakan ini ibarat langkah singkat di jalan panjang yang penuh lubang, membutuhkan penopang lain agar tidak menjatuhkan sebagian rakyat ke jurang ketidakadilan.
Sebagaimana dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “Pemerintah yang baik ialah yang dapat memberikan pengayoman sebesar-besarnya kepada rakyatnya, terutama yang kecil dan lemah.” Kebijakan pangan harus selalu berpihak pada rakyat kecil, karena di sanalah makna keadilan sejati diuji. Wallahu a'lam.
Disclaimer:
Artikel ini ditulis untuk tujuan analisis kebijakan publik. Opini dalam tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan institusi manapun.