Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menaikkan HET Beras Premium, Semudah Itu Solusinya?

27 Agustus 2025   13:19 Diperbarui: 27 Agustus 2025   13:19 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
“Menaikkan harga bisa mudah, menjaga kesejahteraan jauh lebih sulit.”  (META AI)

Menaikkan HET Beras Premium, Semudah Itu Solusinya?

"Harga boleh naik, tapi keadilan harus tetap hadir di meja rakyat."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras benar menjadi solusi paling sederhana untuk masalah pangan kita? Pada Selasa, 26 Agustus 2025, Republika memuat laporan berjudul “Resmi Naikkan HET Beras Medium di Seluruh Wilayah” yang mengabarkan kebijakan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional. Keputusan ini dinilai penting karena menyentuh kebutuhan pokok seluruh masyarakat.

Mengapa kebijakan ini terasa begitu relevan? Laporan tersebut menyoroti rapat koordinasi terbatas pada 13 dan 22 Agustus 2025 yang menghasilkan keputusan untuk menyesuaikan harga beras. Situasi ini menunjukkan bahwa pangan bukan hanya soal distribusi, tetapi juga soal keberanian negara menjaga stabilitas di tengah tekanan biaya produksi dan distribusi.

Lalu, mengapa saya tertarik mengulasnya? Karena setiap kali beras dibicarakan, berarti kita membicarakan denyut nadi dapur rakyat Indonesia. Kenaikan HET bukan sekadar angka dalam tabel kebijakan, melainkan realitas yang menentukan apakah sebuah keluarga bisa makan layak tiga kali sehari.

1. Harga Naik, Janji Stabilitas

Pemerintah beralasan kenaikan HET beras dilakukan demi menjaga keseimbangan antara biaya produksi dengan daya beli masyarakat. Bapanas menegaskan bahwa tanpa penyesuaian, para penggilingan padi enggan berproduksi karena harga gabah terlalu tinggi. Janji stabilitas harga ini terdengar masuk akal, tetapi tetap menimbulkan pertanyaan besar: apakah kenaikan harga otomatis menjamin pasokan dan ketersediaan pangan tetap terjaga?

Pada satu sisi, penyesuaian harga adalah bentuk realisme ekonomi. Petani membutuhkan insentif agar tetap mau menanam padi. Namun, pada sisi lain, konsumen kecil di kota dan desa dipaksa beradaptasi dengan beban baru di tengah inflasi kebutuhan pokok lain. Di sinilah terlihat ketegangan klasik antara kepentingan produksi dan konsumsi.

Kritiknya jelas: stabilitas tidak bisa hanya diukur dari kepuasan satu pihak. Refleksinya, negara harus hadir sebagai penengah yang bijak, bukan sekadar kalkulator harga.

2. Petani di Antara Harapan dan Kekhawatiran

Bagi petani, kenaikan HET beras bisa dianggap angin segar. Mereka berharap harga gabah tidak lagi dipaksa murah, sehingga keuntungan bisa sedikit lebih adil. Akan tetapi, kenyataannya, tidak selalu petani menikmati langsung dampak kenaikan HET karena rantai distribusi panjang masih menyerap sebagian besar keuntungan.

Sering kali, tengkulak atau pedagang besar yang justru mendapatkan margin lebih besar dari penyesuaian harga. Petani tetap berada dalam ketidakpastian, bergantung pada musim, pupuk, dan biaya produksi yang terus naik. Tanpa intervensi distribusi yang lebih adil, kenaikan HET hanya menjadi kebijakan di atas kertas.

Pesannya: menaikkan harga beras tanpa membenahi rantai distribusi sama saja dengan membangun atap rumah tanpa memperkuat pondasinya. Refleksinya, keberpihakan nyata pada petani harus lebih dari sekadar retorika kebijakan.

3. Konsumen Kecil, Beban Bertambah

Keluarga miskin di perkotaan dan desa menjadi pihak yang paling terdampak dari kebijakan ini. Bagi mereka, beras adalah makanan utama yang porsinya nyaris tidak tergantikan. Kenaikan Rp 500–Rp 2.000 per kilogram terasa signifikan jika dihitung dalam pengeluaran bulanan yang serba terbatas.

Pertanyaannya, bagaimana negara memastikan keluarga miskin tetap bisa makan layak? Program bantuan pangan nontunai memang ada, tetapi distribusinya sering kali tidak merata dan sarat masalah birokrasi. Jika harga naik tanpa perlindungan sosial yang memadai, kebijakan ini justru berisiko memperlebar jurang ketimpangan pangan.

Kritik ini membawa refleksi bahwa kebijakan pangan tidak boleh sekadar ekonomis, melainkan juga harus etis. Mengabaikan beban masyarakat kecil berarti mengikis rasa keadilan sosial yang menjadi fondasi negara.

4. Kebijakan Satu Harga, Solusi atau Ilusi?

Bapanas menyebut akan membicarakan kebijakan beras satu harga setelah penyesuaian HET ini. Ide ini sekilas menjanjikan, karena masyarakat dari Papua hingga Sumatra bisa membeli beras dengan harga sama. Namun, realitas geografis Indonesia yang luas membuat biaya distribusi sangat berbeda antarwilayah.

Menyamakan harga tanpa membenahi logistik hanya akan melahirkan distorsi pasar baru. Beras di Papua, misalnya, secara alami lebih mahal karena ongkos distribusi yang tinggi. Jika dipaksa disamakan, maka risiko kelangkaan atau penimbunan akan semakin besar.

Refleksinya, kebijakan pangan harus menyesuaikan dengan konteks wilayah, bukan sekadar meniru model “satu harga” ala bahan bakar. Solusi elegan adalah memperkuat infrastruktur logistik, bukan sekadar menyatukan angka di atas kertas.

5. Jalan Panjang Menuju Keadilan Pangan

Kenaikan HET beras hanyalah salah satu langkah kecil dari jalan panjang reformasi pangan nasional. Persoalan beras di Indonesia bukan hanya harga, melainkan juga tata kelola lahan, ketahanan petani, distribusi pupuk, hingga ketersediaan teknologi pasca-panen. Tanpa pembenahan menyeluruh, kebijakan harga akan selalu tambal sulam.

Di sinilah pentingnya keberanian politik untuk menempatkan pangan sebagai prioritas utama pembangunan nasional. Bukan hanya lewat kebijakan sesaat, melainkan lewat strategi jangka panjang yang melibatkan petani, pedagang, dan konsumen dalam satu ekosistem yang sehat.

Refleksinya jelas: pangan adalah soal martabat bangsa. Tidak ada gunanya pertumbuhan ekonomi tinggi bila rakyatnya masih kesulitan membeli beras.

Penutup

Menaikkan HET beras mungkin tampak sebagai solusi cepat, tetapi jelas bukan jawaban menyeluruh bagi kompleksitas persoalan pangan nasional. Kebijakan ini ibarat langkah singkat di jalan panjang yang penuh lubang, membutuhkan penopang lain agar tidak menjatuhkan sebagian rakyat ke jurang ketidakadilan.

Sebagaimana dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “Pemerintah yang baik ialah yang dapat memberikan pengayoman sebesar-besarnya kepada rakyatnya, terutama yang kecil dan lemah.” Kebijakan pangan harus selalu berpihak pada rakyat kecil, karena di sanalah makna keadilan sejati diuji. Wallahu a'lam

Disclaimer: 

Artikel ini ditulis untuk tujuan analisis kebijakan publik. Opini dalam tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan institusi manapun.

Daftar Pustaka:

Republika. (26 Agustus 2025). Resmi Naikkan HET Beras Medium di Seluruh Wilayah. https://www.republika.co.id

Kompas. (22 Agustus 2025). Pemerintah Jangan Hanya Fokus pada Stok, Tetap Stabilkan Harga Beras. https://www.kompas.com

Badan Pangan Nasional. (2025). Keputusan Kepala Bapanas Nomor 299 Tahun 2025. https://www.bapanas.go.id

ANTARA. (22 Agustus 2025). Sidak Harga dan Kualitas Beras di Pasar Gerendeng. https://www.antaranews.com

Pikiran Rakyat. (23 Agustus 2025). Harga Beras dan Tantangan Distribusi Nasional. https://www.pikiran-rakyat.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun