Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menaikkan HET Beras Premium, Semudah Itu Solusinya?

27 Agustus 2025   13:19 Diperbarui: 27 Agustus 2025   13:19 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kritiknya jelas: stabilitas tidak bisa hanya diukur dari kepuasan satu pihak. Refleksinya, negara harus hadir sebagai penengah yang bijak, bukan sekadar kalkulator harga.

2. Petani di Antara Harapan dan Kekhawatiran

Bagi petani, kenaikan HET beras bisa dianggap angin segar. Mereka berharap harga gabah tidak lagi dipaksa murah, sehingga keuntungan bisa sedikit lebih adil. Akan tetapi, kenyataannya, tidak selalu petani menikmati langsung dampak kenaikan HET karena rantai distribusi panjang masih menyerap sebagian besar keuntungan.

Sering kali, tengkulak atau pedagang besar yang justru mendapatkan margin lebih besar dari penyesuaian harga. Petani tetap berada dalam ketidakpastian, bergantung pada musim, pupuk, dan biaya produksi yang terus naik. Tanpa intervensi distribusi yang lebih adil, kenaikan HET hanya menjadi kebijakan di atas kertas.

Pesannya: menaikkan harga beras tanpa membenahi rantai distribusi sama saja dengan membangun atap rumah tanpa memperkuat pondasinya. Refleksinya, keberpihakan nyata pada petani harus lebih dari sekadar retorika kebijakan.

3. Konsumen Kecil, Beban Bertambah

Keluarga miskin di perkotaan dan desa menjadi pihak yang paling terdampak dari kebijakan ini. Bagi mereka, beras adalah makanan utama yang porsinya nyaris tidak tergantikan. Kenaikan Rp 500–Rp 2.000 per kilogram terasa signifikan jika dihitung dalam pengeluaran bulanan yang serba terbatas.

Pertanyaannya, bagaimana negara memastikan keluarga miskin tetap bisa makan layak? Program bantuan pangan nontunai memang ada, tetapi distribusinya sering kali tidak merata dan sarat masalah birokrasi. Jika harga naik tanpa perlindungan sosial yang memadai, kebijakan ini justru berisiko memperlebar jurang ketimpangan pangan.

Kritik ini membawa refleksi bahwa kebijakan pangan tidak boleh sekadar ekonomis, melainkan juga harus etis. Mengabaikan beban masyarakat kecil berarti mengikis rasa keadilan sosial yang menjadi fondasi negara.

4. Kebijakan Satu Harga, Solusi atau Ilusi?

Bapanas menyebut akan membicarakan kebijakan beras satu harga setelah penyesuaian HET ini. Ide ini sekilas menjanjikan, karena masyarakat dari Papua hingga Sumatra bisa membeli beras dengan harga sama. Namun, realitas geografis Indonesia yang luas membuat biaya distribusi sangat berbeda antarwilayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun