Menaikkan HET Beras Premium, Semudah Itu Solusinya?
"Harga boleh naik, tapi keadilan harus tetap hadir di meja rakyat."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras benar menjadi solusi paling sederhana untuk masalah pangan kita? Pada Selasa, 26 Agustus 2025, Republika memuat laporan berjudul “Resmi Naikkan HET Beras Medium di Seluruh Wilayah” yang mengabarkan kebijakan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional. Keputusan ini dinilai penting karena menyentuh kebutuhan pokok seluruh masyarakat.
Mengapa kebijakan ini terasa begitu relevan? Laporan tersebut menyoroti rapat koordinasi terbatas pada 13 dan 22 Agustus 2025 yang menghasilkan keputusan untuk menyesuaikan harga beras. Situasi ini menunjukkan bahwa pangan bukan hanya soal distribusi, tetapi juga soal keberanian negara menjaga stabilitas di tengah tekanan biaya produksi dan distribusi.
Lalu, mengapa saya tertarik mengulasnya? Karena setiap kali beras dibicarakan, berarti kita membicarakan denyut nadi dapur rakyat Indonesia. Kenaikan HET bukan sekadar angka dalam tabel kebijakan, melainkan realitas yang menentukan apakah sebuah keluarga bisa makan layak tiga kali sehari.
1. Harga Naik, Janji Stabilitas
Pemerintah beralasan kenaikan HET beras dilakukan demi menjaga keseimbangan antara biaya produksi dengan daya beli masyarakat. Bapanas menegaskan bahwa tanpa penyesuaian, para penggilingan padi enggan berproduksi karena harga gabah terlalu tinggi. Janji stabilitas harga ini terdengar masuk akal, tetapi tetap menimbulkan pertanyaan besar: apakah kenaikan harga otomatis menjamin pasokan dan ketersediaan pangan tetap terjaga?
Pada satu sisi, penyesuaian harga adalah bentuk realisme ekonomi. Petani membutuhkan insentif agar tetap mau menanam padi. Namun, pada sisi lain, konsumen kecil di kota dan desa dipaksa beradaptasi dengan beban baru di tengah inflasi kebutuhan pokok lain. Di sinilah terlihat ketegangan klasik antara kepentingan produksi dan konsumsi.