DPR, Bisakah Belajar Mendengar Sebelum Rakyat Marah?
"Kebijaksanaan bukan datang setelah gaduh, tapi sebelum rakyat teriak."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Mengapa rakyat harus turun ke jalan lebih dulu sebelum wakilnya menjelaskan duduk perkara tunjangan rumah? Senayan pada Senin, 25 Agustus 2025, menjadi saksi ribuan massa dalam aksi Revolusi Rakyat Indonesia yang berlangsung sejak pagi hingga malam. Kompas.com (26/8/2025) menurunkan laporan berjudul “Dasco: Setelah Oktober 2025, Anggota DPR Tak Terima Tunjangan Rumah Rp 50 Juta Per Bulan Lagi”, yang menegaskan betapa sensitifnya isu transparansi fasilitas negara di mata publik.
Sejak pagi, suasana di sekitar Gedung DPR/MPR RI dipenuhi simbol perlawanan, mulai dari tabur bunga hingga aksi teatrikal mahasiswa. Namun, ketika sore menjelang, situasi berubah: gas air mata ditembakkan, bentrokan pecah, dan fasilitas umum pun rusak. Malam itu Jakarta macet total, sebuah tanda betapa rapuh komunikasi negara dengan rakyat bila dijembatani dengan penjelasan yang datang terlambat.
Penulis tertarik membahas isu ini karena ia mencerminkan jurang komunikasi yang belum kunjung teratasi. Mengapa klarifikasi soal tunjangan DPR baru muncul setelah kericuhan? Mengapa suara rakyat seringkali baru didengar jika sudah menggema lewat demonstrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun kita pada refleksi tentang etika komunikasi politik yang lebih bijak.
1. Tunjangan DPR: Antara Fakta dan Persepsi Publik
Tunjangan rumah DPR sebesar Rp 50 juta per bulan sejak Oktober 2024 memang menuai polemik luas. Banyak publik menilainya sebagai pemborosan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih. Penjelasan bahwa dana itu dipakai untuk kontrak rumah lima tahun memang logis secara administratif, namun terkesan elitis dalam penyampaian. Rakyat melihat nominal, bukan mekanisme angsuran.
Polemik ini mengajarkan bahwa komunikasi kebijakan tidak cukup berbasis teknis, melainkan juga harus sensitif terhadap psikologi publik. Angka Rp 50 juta per bulan adalah simbol ketimpangan ketika masih banyak guru honorer, tenaga medis, hingga petani hidup pas-pasan. DPR seharusnya menyadari bahwa simbol jauh lebih kuat daripada sekadar logika anggaran. Transparansi tanpa empati hanya akan memicu jarak.
Di titik ini, DPR mestinya menjadikan isu tunjangan rumah sebagai cermin kepekaan sosial. Penjelasan Dasco memang meredam sebagian polemik, tetapi sayangnya datang setelah protes rakyat pecah. Inilah yang membuat kebijakan terasa seperti defensif, bukan proaktif. Pertanyaan mendasarnya: apakah DPR benar-benar mendengar, atau hanya menjawab setelah disudutkan?
2. Demonstrasi Sebagai Bahasa Politik Rakyat
Demo 25 Agustus 2025 di Senayan adalah pengingat keras bahwa suara rakyat tidak selalu tersalurkan lewat ruang formal. Tabur bunga sebagai simbol “matinya demokrasi” menunjukkan kreativitas mahasiswa dalam menyampaikan kritik. Namun, ketika ruang dialog minim, bahasa simbolik itu berubah menjadi bentrokan di jalanan. Rakyat pun akhirnya berbicara lewat jalan yang paling keras.
Fenomena ini seharusnya tidak lagi dipandang sebagai ancaman semata. Demonstrasi adalah bahasa politik ketika saluran komunikasi formal tersumbat. Justru ketika DPR menunggu rakyat turun ke jalan baru memberi klarifikasi, mereka mengakui kegagalan komunikasi awal. Seharusnya, ruang dengar publik dibuka jauh sebelum ribuan massa merasa perlu menggeruduk Senayan.
Refleksi penting di sini: mengapa DPR lebih responsif setelah ada kerusuhan? Jika sejak awal penjelasan soal mekanisme tunjangan disampaikan jernih, lengkap, dan terbuka, mungkin gejolak tak sampai meluas. Rakyat tidak menuntut banyak: hanya kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan wakilnya untuk menjelaskan tanpa menunggu demo.
3. Komunikasi Politik yang Kurang Empati
Kesalahan utama DPR bukan pada angka tunjangan semata, tetapi pada cara menyampaikannya. Penjelasan yang kaku, teknis, dan minim empati membuat publik merasa diremehkan. Masyarakat tidak butuh detail angka lebih dulu, melainkan alasan moral mengapa kebijakan itu sah dan pantas. Politik bukan sekadar administrasi, melainkan seni merawat kepercayaan.
Sayangnya, DPR seringkali terjebak pada pola komunikasi “klarifikasi setelah gaduh”. Pola ini membentuk kesan bahwa rakyat hanyalah objek, bukan mitra dialog. Padahal, di era keterbukaan informasi, keterlambatan penjelasan bisa menjadi bumerang yang memperburuk citra lembaga legislatif. Jika DPR ingin dihargai, mereka harus belajar berbicara dengan hati, bukan sekadar dengan kalkulasi.
Refleksi pentingnya: komunikasi politik membutuhkan kepekaan rasa, bukan hanya nalar birokrasi. Menjelaskan tunjangan rumah dengan pendekatan “kontrak lima tahun” mungkin masuk akal, tetapi apakah pantas disampaikan di tengah isu harga beras naik? Empati adalah kunci yang hilang, dan rakyat menuntutnya bukan dengan kata-kata, melainkan dengan demonstrasi.
4. Tuntutan Rakyat dan Kewajiban Wakilnya
Demo 25 Agustus menegaskan satu hal: rakyat tidak diam ketika merasa haknya diabaikan. Tuntutan yang dibawa bukan hanya soal tunjangan, tetapi juga soal keadilan, kesejahteraan, dan legitimasi wakil rakyat. Ketika DPR gagal menjawab isu-isu tersebut secara langsung, wajar bila publik menafsirkan diam sebagai abai.
Wakil rakyat mestinya memahami bahwa setiap tunjangan, fasilitas, dan kebijakan yang mereka nikmati bersumber dari pajak rakyat. Artinya, publik memiliki hak moral untuk bertanya, mengkritik, bahkan menolak. DPR yang bijak bukan yang menutup telinga, tetapi yang membuka ruang dengar tanpa defensif. Di sinilah kepercayaan dibangun atau runtuh.
Refleksinya jelas: DPR bukan hanya institusi pengambil keputusan, melainkan simbol harapan demokrasi. Ketika simbol itu rapuh, rakyat mencari cara untuk mengingatkan. Demonstrasi hanyalah jalan terakhir ketika pintu dialog ditutup. Maka, menunda penjelasan hingga ada demo sama saja dengan menyalakan api di ladang kering.
5. Haruskah Rakyat Selalu Berteriak?
Pertanyaan besar yang menggantung: mengapa rakyat harus selalu berteriak untuk didengar? Mengapa tidak ada mekanisme komunikasi yang lebih bijak, terbuka, dan preventif? Jika DPR selalu menunggu gaduh untuk menjelaskan, berarti mereka gagal menjalankan fungsi representasi. Rakyat tidak ingin terus-menerus menjadi “pengawas jalanan”.
Sistem demokrasi seharusnya menyediakan ruang dengar yang aman dan terhormat bagi warga negara. DPR bisa mengadakan forum terbuka, konsultasi publik, atau bahkan kampanye literasi kebijakan. Dengan cara itu, polemik dapat dicegah, dan energi bangsa bisa diarahkan untuk hal-hal produktif. Demonstrasi seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan satu-satunya jalan.
Refleksi akhirnya: rakyat berhak didengar tanpa harus turun ke jalan. DPR yang bijak adalah yang menanggapi keresahan rakyat dengan jernih sebelum jadi amarah. Karena sejatinya, komunikasi politik bukan soal menjawab, melainkan soal mendengar.
Penutup
Rangkaian demo 25 Agustus 2025 di Senayan memberi pesan moral: jangan tunggu gaduh baru jelaskan kebijakan. Wakil rakyat yang bijak mestinya proaktif menyampaikan maksud, bukan defensif setelah protes membesar. Komunikasi yang tertunda hanya memperpanjang jurang ketidakpercayaan.
"Demokrasi yang sehat bukan lahir di jalanan, melainkan di ruang dialog yang terbuka." Kita belajar dari episode ini bahwa politik bukan sekadar soal angka, melainkan soal rasa. Saat DPR berani mendengar sebelum rakyat berteriak, itulah saat demokrasi kembali berdenyut. Wallahu a'lam.
Disclaimer
Tulisan ini adalah opini penulis yang disusun berdasarkan data pemberitaan media arus utama. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan mencerminkan sikap resmi media mana pun.
Daftar Pustaka
- Kompas.com. (26/8/2025). Dasco: Setelah Oktober 2025, Anggota DPR Tak Terima Tunjangan Rumah Rp 50 Juta Per Bulan Lagi. https://nasional.kompas.com/read/2025/08/26/10354311
- Kompas.id. (2025). Menagih “Utang” DPR di Tengah Kenaikan Tunjangan. https://www.kompas.id
- Pikiran Rakyat. (25/8/2025). Rangkaian Demo Revolusi Rakyat Indonesia di DPR. https://www.pikiran-rakyat.com
- Republika. (2025). DPR dan Kontroversi Fasilitas Negara. https://www.republika.co.id
- CNN Indonesia. (2025). Ricuh Demo DPR: Dari Tabur Bunga Hingga Bentrokan. https://www.cnnindonesia.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI