Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tunjangan Rumah DPR: Antara Kebutuhan dan Kewajaran

23 Agustus 2025   05:02 Diperbarui: 23 Agustus 2025   05:02 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota parlemen usai Sidang Tahunan MPR-DPR-DPD 2025 di Gedung Nusantara,  Jakarta, 15 Agustus. Antara/Rivan Awal Lingga 

Tunjangan Rumah DPR: Antara Kebutuhan dan Kewajaran

"Keadilan bukan sekadar angka, melainkan rasa yang dirasakan rakyat."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Jakarta, Jumat 22 Agustus 2025, Kompas.com menurunkan berita berjudul "Riuh Kritik Warga soal Tunjangan Rumah DPR yang Dinilai Berlebihan." Laporan itu memotret keresahan warga terhadap tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan bagi anggota DPR RI. Suasana publik pun menjadi riuh, memperlihatkan jarak antara kebijakan elit politik dengan denyut nadi kehidupan rakyat.

Isu ini menjadi penting karena hadir di tengah kondisi ekonomi rakyat yang serba sulit. Banyak kalangan menilai, alokasi dana tersebut lebih tepat digunakan untuk kepentingan publik, terutama pendidikan dan kesejahteraan tenaga honorer. Relevansinya jelas: keadilan sosial seharusnya tercermin dalam prioritas kebijakan negara.

Penulis tertarik mengulas hal ini bukan semata pada angka Rp 50 juta, melainkan makna keadilan dan kesesuaian antara fasilitas pejabat dengan beban rakyat. Tunjangan rumah DPR kini menjadi simbol ujian sensitivitas para wakil rakyat. Apakah mereka mampu menimbang urgensi rakyat, atau justru semakin menjauh dari aspirasi yang seharusnya mereka wakili?

1. Kritik Publik sebagai Cermin Ketidakpuasan

Riuh kritik yang datang dari warga bukanlah sekadar keluhan spontan. Itu merupakan refleksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap tidak proporsional. Aly dan Candra, dua warga yang diwawancara Kompas.com, menyuarakan keresahan yang mewakili jutaan rakyat lainnya.

Kritik publik menjadi penting karena menandai adanya ketegangan antara kepentingan rakyat dengan privilese elit. Ketika rakyat harus berjibaku dengan biaya hidup yang tinggi, angka Rp 50 juta terasa menganga lebar. Kritik ini bukan sekadar soal angka, melainkan juga soal etika politik.

Refleksinya, DPR perlu membaca kritik ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai masukan konstruktif. Justru dengan mendengarkan kritik, DPR dapat memperkuat legitimasi moralnya di mata masyarakat. Jika kritik diabaikan, jurang ketidakpercayaan akan semakin lebar.

2. Argumen DPR: Rasionalitas Biaya atau Justifikasi Berlebihan?

Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan bahwa angka Rp 50 juta sudah melalui kajian matang. Ia menyebut nilai tersebut sesuai harga sewa rumah di Jakarta. Pernyataan ini mencoba memberi rasionalitas pada kebijakan yang menuai kritik luas.

Namun, argumen ini terasa lemah ketika dihadapkan pada fakta bahwa anggota DPR telah disediakan rumah dinas. Logika publik sederhana: mengapa harus ada tunjangan tambahan jika fasilitas pokok sudah tersedia? Justifikasi semacam ini berisiko melukai rasa keadilan rakyat.

Pesannya, rasionalitas anggaran tidak boleh dilepaskan dari konteks moralitas kebijakan. Publik lebih membutuhkan wakil rakyat yang sensitif terhadap penderitaan mereka, bukan sekadar cakap mengajukan pembenaran teknis. Dalam hal ini, kritik publik menemukan pijakan yang kuat.

3. Fasilitas Elit vs Kebutuhan Publik

Di saat DPR menerima tunjangan rumah Rp 50 juta, banyak guru honorer di daerah 3T belum mendapat upah layak. Kesenjangan ini menjadi kontras yang mencolok, mengingat guru adalah pilar masa depan bangsa. Publik menilai dana sebesar itu lebih tepat dialokasikan untuk sektor pendidikan.

Kebijakan semacam ini justru menimbulkan kesan bahwa negara lebih mementingkan kenyamanan elit dibanding kebutuhan dasar rakyat. Padahal, fungsi DPR adalah memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memprioritaskan fasilitas pribadi. Kontradiksi inilah yang menjadi sumber kritik paling tajam.

Refleksinya, DPR perlu meninjau kembali proporsi fasilitas yang mereka nikmati. Bukan berarti anggota dewan tidak boleh mendapatkan hak, tetapi hak tersebut harus sepadan dengan kontribusi nyata. Jika tidak, kepercayaan publik akan terkikis.

4. Sensitivitas Sosial sebagai Ukuran Kewibawaan

Sensitivitas sosial adalah modal utama pejabat publik untuk menjaga kewibawaan. Ketika rakyat mendengar angka Rp 50 juta, yang muncul bukan rasa hormat, melainkan sinisme. Hal ini karena angka itu tidak sejalan dengan realitas rakyat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok.

Sebagai wakil rakyat, anggota DPR seharusnya lebih sering turun ke lapangan untuk menyerap aspirasi. Kehadiran mereka di tengah masyarakat akan memperkecil jarak antara kebijakan dan realitas. Tanpa sensitivitas ini, DPR akan sulit membangun wibawa yang berakar pada legitimasi rakyat.

Kritik yang deras seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan defensif. DPR bisa menunjukkan komitmen moral dengan mengevaluasi kebijakan tunjangan rumah ini. Justru dari kepekaan terhadap rakyatlah kewibawaan wakil rakyat terbangun.

Penutup

Perdebatan mengenai tunjangan rumah DPR bukan hanya soal angka Rp 50 juta. Lebih dari itu, ia menyentuh persoalan keadilan sosial, moralitas kebijakan, dan sensitivitas wakil rakyat terhadap kondisi rakyat. Kebijakan ini bisa menjadi cermin apakah DPR benar-benar hadir untuk rakyat atau sekadar menjaga kenyamanan elit.

Sebagaimana dikatakan filsuf John Rawls, "Keadilan adalah kebajikan utama dari institusi sosial." Maka, keadilan anggaran harus ditempatkan di atas segalanya. DPR perlu menimbang kembali agar setiap kebijakan mencerminkan rasa adil yang dirasakan rakyat, bukan sekadar formalitas kajian angka. Wallahu a'lam. 

Disclaimer

Artikel ini merupakan opini penulis yang disusun berdasarkan berita Kompas.com dan sumber relevan lainnya.

Daftar Pustaka

Kompas.com. (2025, 22 Agustus). Riuh Kritik Warga soal Tunjangan Rumah DPR yang Dinilai Berlebihan. https://megapolitan.kompas.com/read/2025/08/22/20175551/riuh-kritik-warga-soal-tunjangan-rumah-dpr-yang-dinilai-berlebihan

Kompas.com. (2025, 21 Agustus). Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta, Warga: Buang-buang Anggaran Saat Ekonomi Sulit. https://nasional.kompas.com

Kompas.com. (2025, 21 Agustus). Ketua DPR Puan Maharani Tanggapi Kritik Tunjangan Rumah Anggota DPR. https://nasional.kompas.com

Kompas.com. (2025, 20 Agustus). DPR Dapat Tunjangan Rumah Rp 50 Juta, Warga: Lebih Baik untuk Pendidikan. https://megapolitan.kompas.com

Kompas.com. (2025, 21 Agustus). Ketua DPD soal Ricuh Kasus Bupati Pati: Pejabat Publik Harus Punya Sensitivitas Tinggi. https://nasional.kompas.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun