Jejak Luka di Asrama, “Keadilan untuk Zara Qairina”
"Bullying bukan tradisi; ia adalah kekerasan yang bersembunyi di balik diamnya tembok sekolah."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Sore 15 Agustus 2025, suasana di depan gedung Kementerian Pendidikan Malaysia dipenuhi massa yang membawa poster bertuliskan #JusticeforZara. Pikiran Rakyat memberitakan kasus tragis Zara Qairina, 14 tahun, siswi Sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA) Tun Datu Mustapha, Sabah, yang tewas diduga akibat perundungan oleh seniornya. Isu ini memicu perhatian lintas negara, termasuk Indonesia, karena menyentuh dimensi kemanusiaan yang universal.
Kasus ini relevan di tengah meningkatnya kekhawatiran publik tentang kekerasan di sekolah berasrama, yang sering luput dari pengawasan eksternal. Banyak orang tua kini mempertanyakan keamanan anak-anak mereka di lingkungan pendidikan yang seharusnya melindungi, bukan melukai. Urgensinya bukan sekadar menuntut pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem yang memungkinkan tragedi ini terjadi.
Penulis tertarik mengulasnya karena melihat pola berulang dalam kasus-kasus bullying di asrama, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Fenomena ini menyimpan pesan mendalam tentang pentingnya membangun budaya sekolah yang sehat, aman, dan transparan. Tragedi Zara menjadi cermin betapa rapuhnya sistem jika dibiarkan berjalan tanpa evaluasi menyeluruh.
1. Kronologi yang Mengguncang Nurani Publik
Awal Agustus 2025, Zara ditemukan tak bernyawa di lingkungan sekolahnya. Laporan kepolisian menunjukkan indikasi kekerasan fisik dan mental sebelum kematiannya, dengan dugaan pelaku adalah beberapa siswa senior. Kepala Polisi Negara Bagian Perak, Datuk Seri Mohd Yusri Hassan Basri, menyatakan pihaknya telah memeriksa saksi dan staf sekolah untuk mengungkap kronologi detail.
Informasi ini memicu kehebohan publik, terutama setelah terkonfirmasi bahwa kasus terjadi di Malaysia, bukan Indonesia. Spekulasi dan simpati membanjiri media sosial, membuat nama Zara menjadi simbol perlawanan terhadap budaya senioritas yang disalahgunakan. Masyarakat menilai, tanpa transparansi dan keadilan, luka sosial ini akan sulit sembuh.