Mengelola Napas Terakhir: Menyelamatkan RSUD dr. Soekardjo
“Sebuah institusi kesehatan tidak akan tumbang hanya karena beban piutang, tetapi akan runtuh jika kehilangan kepercayaan publik.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Di Jalan Rumah Sakit No. 1 Kota Tasikmalaya, bangunan RSUD dr Soekardjo berdiri dengan sejarah panjang, namun kini kondisinya jauh dari kata ideal. Senin, 11 Agustus 2025, Pikiran Rakyat memuat berita bertajuk “Optimalisasi Piutang, Selamatkan RSUD dr Soekardjo” yang menggambarkan bagaimana fasilitas kebanggaan warga ini nyaris terpuruk oleh persoalan manajemen dan beban finansial. Gambaran ini mengingatkan kita pada kasus RSUD Sentot Alibasjah Indramayu, yang sebelumnya juga menjadi sorotan publik karena keterpurukan serupa.
Masalah ini terasa mendesak karena menyentuh langsung urat nadi pelayanan kesehatan masyarakat. Rumah sakit bukan hanya institusi medis, tetapi juga simbol kepedulian pemerintah terhadap warganya. Dalam konteks saat ini, di tengah tuntutan peningkatan mutu layanan publik dan persaingan fasilitas kesehatan swasta, kegagalan mengelola RSUD berarti mengabaikan hak dasar masyarakat atas layanan kesehatan yang layak.
Sebagai penulis, ketertarikan saya terletak pada ironi yang muncul—bagaimana sebuah rumah sakit daerah yang mendapat dukungan APBD, bantuan provinsi, hingga dana alokasi khusus, justru kalah bersaing dengan rumah sakit swasta yang hanya mengandalkan pendapatan pasien. Isu ini bukan sekadar persoalan teknis manajerial, melainkan menyangkut tata kelola, transparansi, dan keberpihakan terhadap warga yang membutuhkan pelayanan kesehatan murah dan berkualitas.
1. Mengapa RSUD Bisa Tertinggal dari Swasta?
Kondisi RSUD dr Soekardjo mencerminkan tantangan klasik dalam manajemen pelayanan publik: efisiensi dan akuntabilitas. Sementara rumah sakit swasta di Kota Tasikmalaya terus berkembang dengan sumber dana terbatas, RSUD justru kesulitan walau menerima berbagai bantuan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: di mana letak kesalahan strategisnya?
Masalah utama yang tampak adalah tata kelola yang belum efisien. Dukungan finansial yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja, apalagi jika sistem pengawasan internal lemah. Efektivitas bantuan publik hanya dapat terwujud jika disertai transparansi penggunaan anggaran dan evaluasi kinerja berkala.
Selain itu, faktor kepemimpinan memegang peranan penting. Rumah sakit swasta sering kali memiliki model kepemimpinan yang lebih adaptif, cepat mengambil keputusan, dan berorientasi pada hasil. RSUD memerlukan pola pikir serupa untuk dapat bertahan di tengah dinamika persaingan.
Refleksinya jelas: tanpa reformasi manajerial yang mendasar, bantuan dana sebesar apa pun hanya akan menjadi “tambal sulam” sementara, bukan solusi jangka panjang.
2. Optimalisasi Piutang: Peluang atau Sekadar Penundaan Krisis?
Besarnya piutang RSUD dr Soekardjo yang mencapai Rp 32 miliar sebenarnya bisa menjadi modal awal untuk mengatasi masalah operasional. Yadi Mulyadi dari DPRD Kota Tasikmalaya menekankan perlunya langkah cepat dalam menagih piutang ini sebagai salah satu cara untuk menutup beban biaya harian rumah sakit.
Namun, optimalisasi piutang hanyalah salah satu dari sekian banyak langkah yang dibutuhkan. Pengelolaan piutang memerlukan strategi penagihan yang sistematis, dukungan hukum yang kuat, serta koordinasi lintas instansi. Tanpa itu, potensi dana besar ini akan tetap menjadi angka di atas kertas.
Persoalan piutang juga mengungkapkan tantangan budaya birokrasi: lambannya proses administrasi dan lemahnya pengawasan. Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menekan pihak penanggung utang; perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap proses pelayanan dan pencatatan keuangan.
Refleksinya, optimalisasi piutang bisa menjadi titik balik atau sekadar jeda sebelum krisis lebih besar—tergantung pada keseriusan manajemen dalam memperbaiki sistem.
3. DPRD dan Pemkot: Menyatukan Visi atau Berjalan Sendiri-sendiri?
Sikap DPRD yang menolak alih kelola RSUD ke Pemprov Jabar menunjukkan adanya tekad untuk mempertahankan identitas dan kendali daerah. Wakil Ketua DPRD Wahid menegaskan masih ada peluang untuk menyelamatkan RSUD jika dikelola dengan benar.
Namun, kesamaan visi antara DPRD dan Pemkot menjadi kunci. Tanpa koordinasi yang solid, perbedaan strategi hanya akan memperlambat proses perbaikan. Pertemuan intensif antara eksekutif dan legislatif mutlak diperlukan untuk menghasilkan peta jalan yang jelas.
Isu ini juga menyoroti pentingnya keberanian mengambil keputusan. Menahan alih kelola berarti menerima tanggung jawab penuh atas perbaikan RSUD—dan itu bukan perkara mudah. Butuh kepemimpinan yang berani dan transparan untuk membangun kembali kepercayaan publik.
Refleksinya, mempertahankan pengelolaan di tingkat kota adalah pilihan yang terhormat, tetapi tanpa langkah konkret, itu hanya akan menjadi simbol perlawanan tanpa hasil nyata.
4. Manajemen RSUD: Antara Tugas Medis dan Beban Administrasi
RSUD menghadapi dilema antara fokus pada pelayanan medis dan tuntutan administratif yang kompleks. Beban administrasi yang berlebihan sering kali mengalihkan perhatian manajemen dari tugas inti mereka: menyelamatkan nyawa dan memberikan pelayanan yang bermutu.
Tugas administratif yang rumit tidak jarang mengakibatkan keterlambatan pengambilan keputusan penting. Di sisi lain, ketidakefisienan manajerial berimbas langsung pada pelayanan pasien—mulai dari waktu tunggu yang panjang hingga ketersediaan obat yang terbatas.
Model manajemen yang ideal seharusnya memadukan profesionalisme medis dengan efisiensi administratif. Itu artinya, rumah sakit perlu memiliki sistem digital yang terintegrasi, struktur organisasi yang ramping, dan pembagian tugas yang jelas.
Refleksinya, kesehatan sebuah rumah sakit bukan hanya diukur dari jumlah pasien yang sembuh, tetapi juga dari sehatnya sistem manajemen yang menopangnya.
5. Belajar dari RSUD Lain: Reformasi atau Replikasi Kesalahan?
Kasus RSUD Sentot Alibasjah Indramayu menjadi pelajaran berharga: ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan zaman berakhir dengan penurunan kualitas layanan dan citra publik. RSUD dr Soekardjo berpotensi mengalami nasib serupa jika tidak segera melakukan reformasi.
Reformasi yang dimaksud mencakup modernisasi fasilitas, peningkatan kompetensi SDM, dan pembenahan tata kelola keuangan. Langkah ini memerlukan keberanian untuk mengakui kelemahan internal dan komitmen memperbaikinya.
Pemerintah daerah juga harus mengadopsi pendekatan kolaboratif dengan sektor swasta, lembaga pendidikan, dan komunitas kesehatan untuk memperluas dukungan dan inovasi. Isolasi kebijakan hanya akan mempersempit ruang gerak perbaikan.
Refleksinya, masa depan RSUD tidak ditentukan oleh besarnya bantuan yang diterima, tetapi oleh kualitas keputusan yang diambil hari ini.
Penutup
Menyelamatkan RSUD dr Soekardjo bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga soal keberpihakan pada hak dasar masyarakat. Pemkot dan DPRD memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan rumah sakit ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi pusat pelayanan kesehatan yang membanggakan.
“Bukan kekurangan dana yang membunuh pelayanan publik, tetapi kekurangan tekad dan visi yang jelas.”
Disclaimer: Tulisan ini merupakan analisis berdasarkan pemberitaan media dan tidak bermaksud mendiskreditkan pihak mana pun.
Daftar Pustaka
Saefuloh, Asep M. “Optimalisasi Piutang, Selamatkan RSUD dr Soekardjo.” Pikiran Rakyat, 11 Agustus 2025. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019565749/optimalisasi-piutang-selamatkan-rsud-dr-soekardjo?page=all
Redaksi. “RSUD Sentot Alibasjah Indramayu Butuh Perbaikan.” Kompas, 15 Juli 2025. https://www.kompas.com
Kementerian Kesehatan RI. “Pedoman Tata Kelola Rumah Sakit Daerah.” 2024. https://www.kemkes.go.id
WHO. “Hospital Governance and Leadership.” 2023. https://www.who.int
BPKP. “Manajemen Keuangan Rumah Sakit Pemerintah Daerah.” 2022. https://www.bpkp.go.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI