Pasal 132 KUHPM yang mengatur kelalaian atasan menjadi relevan dalam kasus ini. Fakta bahwa ada perwira yang diduga mengizinkan kekerasan menunjukkan adanya masalah pada rantai komando. Budaya organisasi yang membiarkan kekerasan sebagai “ritual” pembinaan harus dihapuskan.
Tanggung jawab komando bukan hanya soal memimpin operasi militer, tetapi juga menjaga keselamatan dan martabat setiap anggota. Pemimpin satuan memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mencegah kekerasan, apalagi yang berpotensi mematikan.
Budaya organisasi TNI harus diarahkan pada profesionalisme dan penghargaan terhadap nyawa manusia. Tradisi yang tidak sejalan dengan nilai kemanusiaan harus direvisi atau dihapus. Pembinaan berbasis kekerasan hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan baru di masa depan.
Jika pemimpin militer mengambil pelajaran dari kasus ini, maka mereka bisa menjadi agen perubahan yang menghapus budaya kekerasan internal. Dengan begitu, integritas TNI AD akan semakin kokoh di mata publik.
5. Momentum Perubahan dan Harapan Keadilan
Kasus Prada Lucky seharusnya tidak hanya berakhir pada vonis pengadilan, tetapi menjadi pemicu reformasi internal TNI AD. Perubahan harus dimulai dari pembenahan sistem rekrutmen, pembinaan, hingga pengawasan berjenjang.
Harapan masyarakat sederhana: keadilan ditegakkan, pelaku dihukum setimpal, dan sistem diperbaiki agar tragedi serupa tidak terulang. TNI AD harus menunjukkan bahwa institusi militer mampu mengoreksi diri dan tidak kebal terhadap hukum.
Momentum ini juga dapat dimanfaatkan untuk membangun kesadaran publik bahwa kekerasan di institusi apapun, termasuk militer, adalah masalah yang harus dihapuskan. Pendidikan kemanusiaan harus menjadi bagian integral dari pembinaan prajurit.
Jika reformasi ini berjalan, maka kematian Prada Lucky akan menjadi titik balik, bukan hanya noda sejarah. TNI AD akan diingat sebagai institusi yang berani berbenah, demi kehormatan dan kemanusiaan.
Penutup