Citra TNI AD pun terguncang, memunculkan kesadaran bahwa kekerasan internal dapat merusak moral institusi jika dibiarkan. Tragedi ini mendorong desakan evaluasi menyeluruh terhadap pembinaan dan pengawasan prajurit di semua matra. Bagi keluarga korban, kasus ini meninggalkan luka mendalam dan tuntutan keadilan, sekaligus menjadi titik tolak pembahasan keselamatan, martabat, dan perlindungan anggota TNI di segala tingkatan.
2. Peran Hukum dan Diferensiasi Pasal bagi Tersangka
Kadispenad Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menyebut pasal yang diterapkan bagi tiap tersangka akan berbeda sesuai perannya. Penyidik menyiapkan lima pasal, mulai dari Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama, Pasal 351 dan 354 KUHP tentang penganiayaan, hingga Pasal 131 dan 132 KUHPM terkait kekerasan dan kelalaian atasan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menempatkan tanggung jawab secara proporsional.
Diferensiasi pasal penting agar hukuman mencerminkan tingkat keterlibatan masing-masing, sekaligus menunjukkan penyidikan dilakukan melalui evaluasi mendalam. Tantangannya adalah memastikan penerapan hukum di lingkungan militer benar-benar transparan dan akuntabel, tanpa kesan perlindungan khusus. Keadilan akan diukur dari kesesuaian antara bukti, peran pelaku, dan vonis yang dijatuhkan.
Momentum ini juga menjadi sarana edukasi hukum bagi internal TNI bahwa kekerasan, dalam bentuk apapun, tidak dapat dibenarkan dan memiliki konsekuensi pidana. Jika prinsip ini ditegakkan konsisten, kasus Prada Lucky dapat menjadi pembelajaran sistemik yang memperkuat integritas, bukan sekadar noda dalam sejarah institusi.
3. Evaluasi Rekrutmen dan Pembinaan Prajurit
TPDI NTT melalui Ketua Meridian menegaskan bahwa kasus ini harus menjadi bahan evaluasi serius terhadap proses rekrutmen dan pembinaan prajurit. Rekrutmen tidak hanya soal fisik dan keterampilan militer, tetapi juga kedewasaan mental dan pengendalian emosi. Prajurit yang matang secara mental cenderung mampu menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.
Proses pembinaan harus mengedepankan nilai kemanusiaan dan profesionalisme. Kekerasan yang melampaui batas tidak boleh menjadi bagian dari “pembelajaran” atau tradisi internal. Sebaliknya, pembinaan perlu berorientasi pada kerja tim, disiplin positif, dan penghormatan terhadap sesama anggota.
Kasus ini membuka mata publik bahwa kekerasan di lingkungan militer tidak selalu datang dari kontak dengan musuh, tetapi bisa terjadi di antara rekan sendiri. Oleh karena itu, pembinaan harus mencakup mekanisme pencegahan konflik internal, mediasi, dan dukungan psikologis.
Jika evaluasi rekrutmen dan pembinaan dilakukan secara menyeluruh, maka TNI AD dapat memperbaiki sistem dari hulu. Perubahan ini penting bukan hanya untuk mencegah kejadian serupa, tetapi juga untuk membangun citra TNI AD sebagai institusi yang kuat sekaligus beradab.
4. Tanggung Jawab Komando dan Budaya Organisasi