Refleksinya membuka ruang diskusi tentang pendekatan holistik: bedah rumah harus diiringi pemberdayaan ekonomi dan pendidikan agar bantuan bersifat transformatif, bukan sekadar karitatif.
4. Pesan Moral dari Cihuni Social Community
Dari perjalanan CSC, kita belajar bahwa gerakan sosial paling efektif lahir dari akar komunitas. Mereka memahami kondisi, kebutuhan, dan prioritas warga setempat, sehingga intervensi menjadi tepat sasaran.
Pesan moral yang mereka sampaikan adalah nilai universal: membantu sesama tanpa pamrih. Prinsip lillahi ta’ala yang mereka pegang teguh menjadi sumber energi yang menjaga konsistensi gerakan. Nilai ini sulit ditemui dalam program bantuan formal yang kerap dibebani target administratif.
Kritik yang patut dicatat adalah minimnya dukungan pemerintah daerah terhadap inisiatif warga seperti ini. Alih-alih menunggu proposal, seharusnya ada skema proaktif dari pemerintah untuk mengadopsi dan memperluas gerakan sosial yang terbukti efektif.
Refleksinya, masyarakat sipil dan pemerintah semestinya tidak berjalan di jalur terpisah. Kolaborasi keduanya dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan sosial yang inklusif.
5. Menjadikan Kebaikan Sebagai Kebiasaan Kolektif
Kebaikan yang dilakukan secara konsisten memiliki daya tular. Kisah Anas memicu warga lain untuk ikut terlibat, meski tidak selalu dalam bentuk donasi uang. Ada yang menyumbang tenaga, bahan bangunan, atau sekadar menyebarkan informasi.
CSC berhasil mengubah pola pikir sebagian warga: bantuan tidak harus datang dari pihak luar, tetapi bisa dimulai dari dalam komunitas sendiri. Nilai ini penting untuk membangun kemandirian sosial.
Pesannya adalah menjadikan kebaikan sebagai kebiasaan kolektif, bukan aksi insidental. Perubahan budaya ini akan membentuk ekosistem kepedulian yang kuat di tingkat lokal.
Refleksi terakhirnya adalah bahwa kebaikan seperti ini, bila diinstitusionalisasikan, dapat menjadi model nasional dalam pengentasan kemiskinan berbasis komunitas.