Keterbatasan tidak lagi menjadi penghalang, melainkan alasan untuk melangkah. Anas membuktikan bahwa nilai kemanusiaan lebih kuat daripada angka gaji. Solidaritas sosial dapat tumbuh dari kesadaran bahwa setiap orang, meskipun dalam keterbatasan, punya kapasitas memberi manfaat.
Refleksinya sederhana: ketika kemauan dan keikhlasan bertemu, bahkan hambatan paling berat pun bisa ditembus. Inilah esensi gerakan sosial akar rumput yang sering luput dari perhatian kebijakan formal.
2. Menggugah Kesadaran Publik Lewat Aksi Nyata
Gerakan CSC tidak lahir dari seminar atau dokumen kebijakan, melainkan dari langkah konkret di lapangan. Anas dan timnya tidak menunggu bantuan pemerintah, melainkan langsung mengidentifikasi rumah-rumah yang harus diperbaiki segera. Respons cepat ini membuat warga melihat mereka sebagai penolong yang nyata.
Publikasi media, termasuk liputan DetikJabar, membuat kisah CSC menjangkau khalayak luas. Efeknya, dukungan publik pun mengalir, baik dalam bentuk donasi maupun tawaran kolaborasi. Kisah mereka menjadi semacam “viral kemanusiaan” yang memicu partisipasi masyarakat.
Pesan pentingnya adalah: aksi nyata yang konsisten lebih efektif membangun kepercayaan publik daripada sekadar retorika. Inisiatif yang lahir dari kebutuhan riil di lapangan lebih mudah menggerakkan empati sosial.
Kritiknya, gerakan seperti ini sering terhenti karena kurangnya dukungan struktural. Tanpa kerjasama lintas sektor, potensi yang dihasilkan bisa tereduksi hanya menjadi cerita heroik temporer.
3. Keberlanjutan di Tengah Tantangan
Sejak 2021, CSC telah merenovasi 12 rumah dan 1 masjid. Dana yang dibutuhkan untuk tiap unit rumah bervariasi antara Rp20 juta hingga Rp50 juta, seluruhnya berasal dari donasi masyarakat. Transparansi menjadi prinsip utama: tidak ada satu rupiah pun yang diambil oleh anggota CSC untuk kepentingan pribadi.
Namun, tantangan keberlanjutan selalu mengintai. Sumber dana bergantung pada kebaikan hati donatur yang sifatnya fluktuatif. Apalagi, kebutuhan renovasi rumah di Garut dan sekitarnya jauh lebih besar daripada kapasitas CSC saat ini.
Anas juga mengakui dilema pascarenovasi: penerima bantuan sering masih terjebak dalam lingkar kemiskinan struktural. Rumah yang layak tidak otomatis membuat mereka mandiri secara ekonomi.