The Good Enough Job: Hidup Tak Harus Sempurna, Asal Tetap Bermakna
"Ada terlalu banyak orang yang memberikan versi terbaik diri mereka di tempat kerja, tetapi hanya membawa sisa-sisanya pulang ke rumah." -- Esther Perel
Oleh Karnita
Pendahuluan
Di tengah pusaran rutinitas yang padat, banyak dari kita terjebak dalam logika kerja tanpa henti. Ungkapan seperti "Lakukan apa yang kamu cintai dan kamu tak akan pernah merasa bekerja" terdengar inspiratif, tapi diam-diam menjadi jebakan yang menyamarkan kelelahan emosional dan ekspektasi yang tak realistis. Tak sedikit yang akhirnya merasa gagal hanya karena tak bisa mencintai pekerjaan yang sebenarnya melelahkan. Kalimat-kalimat seperti ini mendorong kita menilai harga diri berdasarkan produktivitas semata.
Simone Stolzoff, seorang jurnalis yang pernah mengalami krisis makna dalam dunia kerja, menulis buku The Good Enough Job: Merebut Kembali Kehidupan dari Pekerjaan (Penulis: Simone Stolzoff, Penerbit: Elex Media Komputindo, 2025) sebagai jawaban atas keresahan banyak orang yang hidupnya direduksi menjadi sekadar "pekerjaan." Dalam buku ini, Stolzoff menyodorkan tawaran sederhana namun revolusioner: menjadikan pekerjaan sebagai bagian dari hidup, bukan pusat segalanya. Kisah pribadinya menjadi pintu masuk yang membumi bagi pembaca yang tengah berada dalam pencarian makna serupa.
Berikut adalah refleksi dari 10 bab utama dalam buku ini, lengkap dengan sinopsis dan relevansi realitas kita hari ini:
Refleksi ini diharapkan membantu kita menyusun ulang relasi dengan kerja secara lebih sehat dan manusiawi.
1. For What It's Worth
Bab ini membuka dengan pertanyaan sederhana tapi dalam: "Apa sebenarnya nilai dari pekerjaan kita?" Stolzoff mengisahkan individu-individu yang mulai menyadari bahwa nilai sejati hidup tidak bisa direduksi hanya dari gaji, jabatan, atau prestise profesional. Kalimat ini menunjukkan kesadaran baru bahwa nilai seseorang tidak harus ditentukan dari apa pekerjaannya.Â
Di era ekonomi digital, banyak yang merasa nilainya ditentukan algoritma produktivitas. Kita lupa bahwa pekerjaan adalah alat, bukan tujuan. Saatnya mendefinisikan ulang: bukan berapa penghasilan kita, tapi seberapa utuh hidup kita.
2. The Religion of Workism
Stolzoff menyebut fenomena "workism" sebagai bentuk religiusitas baru---iman buta pada kerja sebagai sumber makna hidup. Bagi penganutnya, kerja bukan hanya sumber penghasilan, tapi juga identitas, status sosial, dan bahkan spiritualitas.Fenomena ini tumbuh subur saat kerja tak hanya menjadi kewajiban, tapi identitas utama manusia modern.Â
Realitasnya, workism menyusup pelan-pelan dalam budaya urban kita: perkenalan dimulai dengan "Kerja di mana?" bukan "Apa yang kamu sukai?" Solusinya: kita butuh menggeser orientasi dari eksistensi berbasis jabatan ke kebermaknaan berbasis peran hidup lainnya.
3. The Love of Labor
Banyak yang diajarkan untuk mencintai pekerjaan. Bab ini mempertanyakan apakah benar kita harus mencintai pekerjaan agar hidup bermakna? Stolzoff menyajikan kisah orang-orang yang justru merasa hancur karena terlalu mencintai pekerjaannya. Kecintaan yang berlebihan pada kerja ternyata bisa menyamarkan kelelahan dan mengabaikan batas pribadi.Â
Di Indonesia, kita melihat gejala serupa: bekerja berlebihan demi loyalitas yang tidak selalu berbalas. Refleksinya, mencintai pekerjaan itu baik, tapi mencintai diri sendiri lebih penting. Pekerjaan tak boleh menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan.
4. Lose Yourself
Dalam bab ini, Stolzoff membahas betapa mudahnya seseorang kehilangan dirinya sendiri dalam rutinitas kerja yang melenakan. Ia menggambarkan bagaimana orang-orang mulai meleburkan seluruh eksistensinya ke dalam peran profesional.Â
Ketika hidup berputar hanya di sekitar kantor, kita mudah kehilangan jati diri di luar dunia profesional.
Refleksi: Kita sering menyamakan "sukses" dengan jabatan, tapi kehilangan hubungan sosial, waktu untuk diri sendiri, bahkan kesehatan mental. Saatnya menyadari: kita lebih dari kartu nama kita.
5. Working Relationships
Hubungan di tempat kerja memang penting, namun dalam bab ini dijabarkan bagaimana interaksi kerja juga bisa menjadi sumber kecemasan dan krisis identitas. Hubungan yang terlalu intens dengan rekan kerja bisa membuat kita menggantungkan seluruh validasi diri di sana. Hubungan kerja yang terlalu emosional bisa mengaburkan batas antara profesionalisme dan ketergantungan.Â
Di era WFH dan hybrid, batas profesional dan personal semakin kabur. Yang perlu dibangun adalah relasi kerja yang sehat, berbasis kolaborasi, bukan kompetisi atau validasi ego.
6. Off the Clock
Apa yang terjadi ketika jam kerja selesai? Stolzoff mengajak pembaca untuk menyadari pentingnya kehidupan di luar pekerjaan: hobi, keluarga, komunitas. Sayangnya, banyak yang bahkan merasa bersalah saat tidak produktif. Stolzoff ingin menekankan bahwa waktu luang bukan pelarian, tapi ruang untuk membangun kembali keutuhan diri.Â
Fenomena hustle culture membuat kita lupa bahwa istirahat adalah bagian dari produktivitas. Saatnya mendesak batas kerja agar kita bisa kembali merasakan hidup di luar layar laptop dan rapat daring.
7. Work Hard, Go Home
Bab ini mengeksplorasi bagaimana bekerja keras tak harus berarti bekerja terus-menerus. Ada nilai dalam menyelesaikan pekerjaan dengan cukup baik lalu pulang untuk hidup yang lebih bermakna. Bab ini mendorong pembaca untuk menetapkan batas yang sehat antara kerja dan kehidupan personal.Â
Refleksi: Kita hidup dalam budaya lembur yang seolah jadi standar loyalitas. Padahal, bekerja dengan cukup efektif dan seimbang jauh lebih berkelanjutan bagi kesehatan dan hubungan sosial kita.
8. The Status Game
Status dan prestise kerja sering menjadi motif utama. Bab ini menyingkap permainan identitas yang menjadikan pekerjaan sebagai panggung kompetisi sosial. Pekerjaan telah menjadi panggung performatif di mana pengakuan sosial dicari lewat jabatan dan gelar.Â
Di masyarakat kita, gengsi profesi masih kuat. Tapi sudah waktunya kita berani melepaskan kebutuhan untuk selalu terlihat "berhasil". Kita tak harus jadi "seseorang" untuk merasa layak.
9. A World with Less Work
Stolzoff menutup bagian utama buku ini dengan refleksi tentang dunia yang tidak menjadikan kerja sebagai poros utama hidup. Ia membayangkan sistem sosial yang lebih egaliter, berbasis waktu luang, keterlibatan komunitas, dan kebebasan memilih. Bab ini mengajak kita membayangkan hidup yang tak ditentukan dari lamanya jam kerja atau intensitas rutinitas.Â
Bab ini menawarkan pandangan visioner tentang masa depan: bukan tanpa kerja, tapi dengan kerja yang lebih manusiawi. Gagasan ini relevan di tengah disrupsi AI dan automasi, yang menuntut kita mendefinisikan ulang makna produktivitas dan kontribusi.
10. Epilogue
Dalam epilog, Stolzoff menyampaikan bahwa perjuangan melawan workism adalah proses yang personal dan kolektif. Ia menekankan bahwa setiap orang bisa membuat pilihan kecil yang berdampak besar terhadap keseimbangan hidupnya. Melalui narasi epilog, Stolzoff memberi ruang harapan bahwa perubahan itu dimulai dari kesadaran kecil.Â
Epilog ini menjadi ajakan lembut namun tegas: "Kita tidak harus sempurna. Kita cukup jika sadar bahwa hidup bukan hanya tentang bekerja, melainkan tentang menjadi manusia seutuhnya."
Keunggulan dan Kelemahan Buku
Salah satu kekuatan The Good Enough Job adalah keberanian Stolzoff membongkar mitos pekerjaan modern secara jujur namun tetap empatik. Ia tidak serta-merta mengajak pembaca untuk berhenti bekerja, melainkan mendorong kita mereformasi relasi personal dengan kerja secara realistis.
Kelebihan lain adalah pendekatan naratifnya yang menggugah. Berbasis riset dan pengalaman nyata, Stolzoff menulis dengan gaya humanistik yang tidak menggurui, namun mengajak berdialog. Hal ini membuat pembaca merasa ditemani, bukan disalahkan.
Namun, kelemahannya mungkin pada konteks budaya. Fokus pada budaya kerja Amerika membuat beberapa gagasan perlu penyesuaian agar relevan di konteks Asia atau Indonesia. Meski begitu, esensinya tetap universal: pekerjaan bukan segalanya.
Penutup
Pekerjaan memang penting, tapi bukan satu-satunya penentu hidup bermakna. Seperti kata Donald Winnicott, "cukup baik" adalah pendekatan sehat dalam mengelola ekspektasi, baik dalam mengasuh anak maupun menjalani karier.
Stolzoff lewat The Good Enough Job mengingatkan kita bahwa hidup yang sehat bukan soal menjadi karyawan terbaik setiap waktu, tapi menjadi manusia utuh yang tahu kapan harus berhenti dan pulang.
"Kamu bukan pekerjaanmu. Kamu bukan jabatanmu. Kamu adalah manusia, dan hidupmu jauh lebih besar daripada apa yang kamu lakukan untuk mencari nafkah."
--- Simone Stolzoff
Kini saatnya kita mendefinisikan ulang sukses: bukan semata soal capaian kerja, tapi soal keberanian hidup dengan utuh dan cukup. Karena kita lebih dari sekadar apa yang kita kerjakan. Kita adalah manusia, bukan mesin produksi.
Daftar Pustaka
Stolzoff, Simone. The Good Enough Job: Merengkuh Hidup, Tak Hanya Kerja. Terj. Penerbit Haru, 2024.
Kompas. "Hidup Seimbang Tak Harus Sempurna: Pandemi dan Paradigma Baru Kerja." Harian Kompas, 17 April 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI