1. Jejak Kehangatan Keluarga dalam Masa Kecil
Salah satu kekuatan utama novel ini adalah narasinya tentang keluarga. Keluarga Dini digambarkan sebagai entitas yang penuh perhatian, disiplin, namun tidak otoriter. Sang ibu tampil sebagai figur penting dalam pembentukan karakter Dini, dengan mendidik melalui kebiasaan sederhana seperti aturan makan yang sopan dan mendongeng sebelum tidur. Ayah, meski sibuk, hadir dalam momen-momen penting seperti merencanakan liburan dan menciptakan kehangatan melalui permainan bersama anak-anak.
Kisah keluarga ini terasa nyata dan membumi. Tidak ada dramatisasi berlebihan, justru ketulusan dalam setiap tindakan membuat hubungan antar anggota keluarga menjadi menyentuh. Nilai moral ditanamkan secara natural, bukan menggurui, menjadikan novel ini kaya akan pelajaran hidup.
Namun, di balik kehangatan tersebut, novel ini juga memperlihatkan adanya konflik kecil seperti ketidakpatuhan kakak terhadap aturan makan ibu. Ini memberi warna dan keseimbangan dalam penggambaran keluarga, menjauhkan narasi dari kesan idealistik berlebihan.
2. Ruang dan Waktu yang Menghidupkan Cerita
Nh. Dini dengan cermat memanfaatkan deskripsi ruang untuk menghidupkan suasana. Rumah di Semarang digambarkan dengan detail yang mengundang rasa rindu: halaman luas, pendapa, meja bilyar, pohon mangga, dan suara embok blanjan di pagi hari. Ini bukan sekadar latar, melainkan ruang batin tempat segala perasaan tertambat.
Perjalanan ke Tegalrejo dan Ponorogo tidak hanya menghadirkan peta geografis, tetapi juga peta emosional dari si tokoh. Surakarta, Madiun, hingga stasiun Ponorogo menjadi simpul-simpul pengalaman yang membentuk cara Dini memandang hidup. Alam pedesaan, sawah, sungai, dan kebun menjadi sarana belajar dan bermain yang menyatu dalam perkembangan psikologis tokoh.
Waktu pun tak hanya mengalir, melainkan menjadi narasi tersendiri: masa sebelum perang, masa mengungsi, masa menjelang sekolah. Novel ini merekam waktu dengan liris dan lembut, membuat pembaca seakan ikut tumbuh bersama Dini.
3. Pendidikan dan Nilai Tradisional Jawa
Pendidikan dalam novel ini tidak hanya formal, tapi juga informal dan kultural. Ayah menekankan pentingnya penggunaan bahasa Jawa, sementara sekolah Belanda mengajarkan bahasa asing. Ketegangan ini merepresentasikan perdebatan identitas yang khas dalam keluarga priyayi Jawa di era kolonial.