Arifin C. Noer dengan cermat menggambarkan kekayaan sebagai pedang bermata dua: di satu sisi ia menjanjikan rasa aman, di sisi lain ia menciptakan kecemasan yang membelenggu. Karakter Jumena dibentuk dari trauma kemiskinan masa lalu, yang kemudian melahirkan ketamakan dan sikap pencuriga.
Kritik elegan Arifin tertuju pada anggapan keliru masyarakat modern yang memosisikan kekayaan sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan. Ia tidak menggurui, namun melalui runtuhnya kehidupan batin Jumena, penonton diajak menyelami kedalaman pertanyaan eksistensial yang jarang terucap.
2. Eksperimen Teater yang Menjembatani Tradisi dan Modernitas
Kekuatan Sumur Tanpa Dasar tidak hanya terletak pada ceritanya, tetapi juga dalam bentuk penyajiannya. Arifin menyuntikkan elemen lenong Betawi dan tarling Cirebon ke dalam struktur drama modern. Gabungan simbolisme, realisme, dan unsur teatrikal rakyat menjadikan lakon ini unik secara estetik dan filosofis.
Dentang lonceng raksasa, kabut, dan bayang maut menjadi metafora yang menghidupkan rasa misteri. Simbolisasi waktu, misteri, dan kematian menjadi latar yang melampaui realitas panggung. Teknik ini menghadirkan nuansa kontemplatif yang sulit dilupakan.
Dalam konteks pendidikan dan pentas mahasiswa, pendekatan seperti ini sangat mendidik: tidak hanya melatih peran, tetapi mengajarkan eksplorasi makna di balik kata dan adegan. Ini pula yang menjadikan pengalaman 1990 itu begitu membekas.
3. Spiritualitas yang Terabaikan: Jalan Pulang yang Terlambat
Abdul Hadi WM menyebut bahwa judul Sumur Tanpa Dasar adalah simbol dari pencarian makna hidup yang sia-sia. Jumena, meski sukses, tidak mampu menggali makna sejati dari kehidupannya karena tercerabut dari akar spiritualitas.
Kematian yang hadir di akhir cerita bukanlah sekadar fisikal, tetapi kematian spiritual yang mendahului jasad. Ketika tokoh utama kehilangan relasi dengan Tuhan dan sesama manusia, ia sejatinya telah mati lama sebelum napasnya berhenti.
Solusi yang ditawarkan Arifin tidak eksplisit, namun terang: hanya dengan kembali pada nilai-nilai agama dan kemanusiaan, manusia bisa keluar dari jurang kekosongan. Ini menjadikan lakon ini bukan sekadar kritik, tetapi ajakan untuk pulang ke jati diri.
4. Kritik Sosial terhadap Hedonisme dan Individualisme