Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Gaji Guru Bukan untuk Dipermainkan": Ketika Rp25 Ribu Mengusik Harga Diri Pengabdi Negeri

10 Juni 2025   08:45 Diperbarui: 10 Juni 2025   08:45 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru ASN terima gaji Rp6,3 juta lebih bulan April 2024 (ANTARA/Syifa Yulinnas)

Bank mungkin bisa salah mengetik notifikasi. Tapi narasi “pot. dinas” memberi kesan potongan dilakukan secara struktural oleh instansi, bukan organisasi profesi. Ini menimbulkan tafsir bias yang wajar dari para guru. Terlebih, status PPPK yang masih baru dan belum sekuat PNS dalam sistem, sering kali membuat mereka rentan pada miskomunikasi administratif.

Dalam dunia birokrasi, kejelasan nomenklatur bukan sekadar soal label, tapi soal legitimasi. Potongan yang tidak dikomunikasikan dengan transparan sejak awal akan terasa seperti penyusupan, bukan iuran. Dan itu cukup untuk meruntuhkan relasi kepercayaan.

2. Iuran atau Pungli: Batasnya Tipis Jika Tak Transparan

"Ketika tak ada pilihan dalam persetujuan, maka iuran pun bisa terasa seperti pemaksaan."

PGRI berpegang pada AD/ART yang menyatakan bahwa anggota wajib membayar iuran. Secara organisasi, ini sah. Tapi pertanyaannya: bagaimana cara dan waktu pemberitahuan iuran ini kepada para guru baru? Apakah benar semua yang dipotong telah menandatangani surat persetujuan secara sadar dan sukarela?

Dalam hukum administrasi, prinsip informed consent adalah fondasi. Guru seharusnya diberikan pilihan secara aktif: apakah ingin menjadi anggota PGRI atau tidak. Jika sistem pendataan belum rapih, maka prioritas pertama bukan memotong, melainkan memastikan persetujuan individu secara eksplisit.

Ketika guru merasa tidak pernah menyetujui dan tiba-tiba ada potongan, meski itu hanya Rp25.000, rasa keterpaksaan itu sangat nyata. Apalagi bagi guru-guru muda yang baru mulai mengatur ekonomi rumah tangganya. Di titik ini, batas antara iuran dan pungli menjadi kabur, dan hanya bisa dipertegas dengan rekam jejak.

3. PPPK: Antara Status Formal dan Realitas Kesejahteraan

"Menjadi Pkomunikasi yang tertib.PPK bukan sekadar mengisi kekosongan guru, tapi juga mengisi kekosongan harapan atas keadilan."

Status PPPK memang memberi ruang legal bagi tenaga pengajar non-PNS untuk mengabdi secara formal. Tapi dalam praktiknya, banyak dari mereka yang masih berjuang agar diakui secara setara, termasuk dalam hal tunjangan, perlindungan kerja, dan rasa dihargai. Ketika potongan tanpa penjelasan terjadi, itu memperkuat kesan: bahwa mereka tetap warga kelas dua dalam birokrasi.

Sebagian besar PPPK adalah guru berpengalaman yang baru “diangkat” secara resmi setelah puluhan tahun mengabdi. Harapan mereka sederhana: gaji utuh, sistem adil, dan informasi yang terbuka. Maka, ketika tiba-tiba ada pemotongan yang tidak diketahui asal-usulnya, rasa perjuangan itu seperti dicederai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun