Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Gaji Guru Bukan untuk Dipermainkan": Ketika Rp25 Ribu Mengusik Harga Diri Pengabdi Negeri

10 Juni 2025   08:45 Diperbarui: 10 Juni 2025   08:45 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru ASN terima gaji Rp6,3 juta lebih bulan April 2024 (ANTARA/Syifa Yulinnas)

“Gaji Guru Bukan untuk Dipermainkan”: Ketika Rp25 Ribu Mengusik Harga Diri Pengabdi Negeri

"Kadang, yang kecil bukan sekadar angka. Tapi tentang rasa, tentang makna, tentang martabat."

Oleh Karnita

Pendahuluan: Bukan Sekadar Salah Notifikasi

Isu pemotongan gaji guru PPPK di Kabupaten Bekasi menyentuh lebih dari sekadar persoalan administrasi. Di balik angka Rp25.000 yang terlihat kecil, ada rasa kecewa, bingung, bahkan marah dari para guru yang merasa tidak pernah menyetujui potongan tersebut. Bagi sebagian orang, mungkin ini cuma masalah teknis bank dan klarifikasi organisasi. Tapi bagi guru, ini tentang gaji yang sudah lama ditunggu, dipotong tanpa tahu-menahu.

Ketertarikan saya pada isu ini bukan semata karena viralnya pemberitaan atau tanggapan cepat dari PGRI Bekasi. Tapi lebih pada dinamika relasi antara guru PPPK dengan institusi yang menaunginya, baik secara struktural maupun kultural. Di sana, ada lapisan kepercayaan, keterbukaan, dan penghargaan yang kadang terlalu cepat goyah hanya karena komunikasi yang lemah.

Urgensinya jelas: publik butuh kejelasan, guru butuh pembelaan, dan organisasi butuh koreksi. Dalam iklim pendidikan yang makin menuntut transparansi dan akuntabilitas, isu seperti ini bisa menjadi preseden penting. Bagaimana kita memaknai pengabdian jika pengabdi justru harus membayar tanpa tahu alasan?

1. Ketika Notifikasi Salah, Rasa Percaya pun Goyah

"Tak semua kesalahan bisa ditebus dengan permintaan maaf. Kadang, yang dibutuhkan adalah kejelasan sejak awal."

Pernyataan PGRI Bekasi soal “kesalahan notifikasi” dari BJB memberi klarifikasi formal. Mereka menyebut bahwa potongan Rp25.000 adalah iuran anggota PGRI, sesuai AD/ART organisasi, dan bukan pungli. Namun, tidak semua guru merasa menjadi anggota, apalagi pernah menandatangani persetujuan potongan tersebut. Di sinilah mulai goyah rasa percaya: ketika pemotongan terjadi sebelum ada persetujuan, lalu baru diklarifikasi setelah publik ribut.

Bank mungkin bisa salah mengetik notifikasi. Tapi narasi “pot. dinas” memberi kesan potongan dilakukan secara struktural oleh instansi, bukan organisasi profesi. Ini menimbulkan tafsir bias yang wajar dari para guru. Terlebih, status PPPK yang masih baru dan belum sekuat PNS dalam sistem, sering kali membuat mereka rentan pada miskomunikasi administratif.

Dalam dunia birokrasi, kejelasan nomenklatur bukan sekadar soal label, tapi soal legitimasi. Potongan yang tidak dikomunikasikan dengan transparan sejak awal akan terasa seperti penyusupan, bukan iuran. Dan itu cukup untuk meruntuhkan relasi kepercayaan.

2. Iuran atau Pungli: Batasnya Tipis Jika Tak Transparan

"Ketika tak ada pilihan dalam persetujuan, maka iuran pun bisa terasa seperti pemaksaan."

PGRI berpegang pada AD/ART yang menyatakan bahwa anggota wajib membayar iuran. Secara organisasi, ini sah. Tapi pertanyaannya: bagaimana cara dan waktu pemberitahuan iuran ini kepada para guru baru? Apakah benar semua yang dipotong telah menandatangani surat persetujuan secara sadar dan sukarela?

Dalam hukum administrasi, prinsip informed consent adalah fondasi. Guru seharusnya diberikan pilihan secara aktif: apakah ingin menjadi anggota PGRI atau tidak. Jika sistem pendataan belum rapih, maka prioritas pertama bukan memotong, melainkan memastikan persetujuan individu secara eksplisit.

Ketika guru merasa tidak pernah menyetujui dan tiba-tiba ada potongan, meski itu hanya Rp25.000, rasa keterpaksaan itu sangat nyata. Apalagi bagi guru-guru muda yang baru mulai mengatur ekonomi rumah tangganya. Di titik ini, batas antara iuran dan pungli menjadi kabur, dan hanya bisa dipertegas dengan rekam jejak.

3. PPPK: Antara Status Formal dan Realitas Kesejahteraan

"Menjadi Pkomunikasi yang tertib.PPK bukan sekadar mengisi kekosongan guru, tapi juga mengisi kekosongan harapan atas keadilan."

Status PPPK memang memberi ruang legal bagi tenaga pengajar non-PNS untuk mengabdi secara formal. Tapi dalam praktiknya, banyak dari mereka yang masih berjuang agar diakui secara setara, termasuk dalam hal tunjangan, perlindungan kerja, dan rasa dihargai. Ketika potongan tanpa penjelasan terjadi, itu memperkuat kesan: bahwa mereka tetap warga kelas dua dalam birokrasi.

Sebagian besar PPPK adalah guru berpengalaman yang baru “diangkat” secara resmi setelah puluhan tahun mengabdi. Harapan mereka sederhana: gaji utuh, sistem adil, dan informasi yang terbuka. Maka, ketika tiba-tiba ada pemotongan yang tidak diketahui asal-usulnya, rasa perjuangan itu seperti dicederai.

Momen ini seharusnya menjadi refleksi: sudahkah negara dan institusi terkait memahami makna “pengangkatan” bukan sekadar administrasi, tapi juga pemulihan martabat? Jika ya, seharusnya kasus seperti ini tak perlu terjadi.

4. Organisasi Profesi dan Tantangan Etika Kepengurusan

"Menjadi pelindung guru bukan berarti memutuskan atas nama mereka tanpa dialog."

PGRI adalah salah satu organisasi tertua dan paling besar di ranah pendidikan Indonesia. Ia memegang amanah berat sebagai pelindung dan penyambung suara guru. Tapi dalam konteks PPPK Bekasi, organisasi ini perlu lebih berhati-hati dalam membedakan antara representasi dan intervensi.

Setiap anggota organisasi berhak mendapatkan informasi lengkap dan berkesempatan memilih. Mengutip keputusan konferensi kerja sebagai dasar penetapan iuran memang sah, tetapi tetap tidak boleh mengabaikan persetujuan individu. Apalagi dalam konteks anggota baru seperti PPPK yang mungkin belum memahami mekanisme internal organisasi.

Momen ini seharusnya menjadi titik balik bagi organisasi profesi: bahwa era keterbukaan menuntut lebih dari sekadar legalitas internal. Ia membutuhkan legitimasi moral dari anggotanya—yang hanya lahir dari keterlibatan aktif dan transparansi penuh.

5. Refleksi Lebih Luas: Saat Sistem Kita Terlalu Sibuk untuk Mendengar

"Keadilan administratif bukan hanya milik yang bersuara paling keras, tapi juga milik yang paling diam tapi terdampak."

Potongan Rp25.000 mungkin terlihat remeh dalam arus birokrasi besar. Tapi justru di situ letak bahayanya. Kita terlalu sering meremehkan hal kecil karena sibuk mengurus hal besar. Padahal, rasa keadilan lahir justru dari detail kecil yang diperhatikan.

Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya sense of fairness dalam sistem pemerintahan dan pendidikan. Guru bukan sekadar aparat pengajar, tapi juga manusia yang butuh didengar dan dihargai. Ketika sistem gagal menjelaskan sebuah potongan, itu mencerminkan sistem yang lupa bagaimana berkomunikasi dengan manusia.

Ini bukan soal uang semata. Tapi tentang hak untuk tahu, untuk setuju, untuk menolak, dan untuk merasa tenang menerima gaji yang telah mereka perjuangkan. Maukah kita belajar dari kesalahan kecil ini untuk perbaikan besar ke depan?

Penutup: Di Ujung Potongan Itu, Ada Martabat yang Tersayat

"Bukan besar kecilnya angka yang melukai, tapi ketidaktahuan akan alasan di baliknya."

Kasus pemotongan gaji PPPK Bekasi bisa saja selesai secara administratif. Dana bisa dikembalikan, notifikasi bisa diganti, dan PGRI bisa memperbaiki data. Tapi rasa kecewa itu sudah sempat tumbuh. Dan itu tak bisa dihapus dengan hanya satu rilis klarifikasi.

Dalam dunia pendidikan, rasa percaya adalah kurikulum yang paling mendasar. Ketika guru merasa tidak didengar, tidak tahu, dan tidak dilibatkan, maka kepercayaan itu mulai memudar. Lalu, bagaimana kita bisa membangun pendidikan yang kuat jika kepercayaan antar elemen dasarnya rapuh?

Apakah kita sudah cukup adil mendengarkan para guru kita, atau justru kita terlalu sibuk menyusun sistem hingga lupa menjelaskan cara kerjanya? Wallahu a'lam

Sumber Berita:

Andryandy, Tommi. “Potongan Gaji PPPK Disebut Salah Notifikasi, PGRI Bekasi Klarifikasi dan Janjikan Pengembalian Dana.” Pikiran Rakyat, 9 Juni 2025, pukul 20.43 WIB. Diakses dari: https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019403441/potongan-gaji-pppk-disebut-salah-notifikasi-pgri-bekasi-klarifikasi-dan-janjikan-pengembalian-dana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun