Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book

Fihi Ma Fihi: Menepi dalam Keheningan, Menemukan Arah Jiwa (3)

29 Mei 2025   10:55 Diperbarui: 29 Mei 2025   10:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menepi dalam Keheningan, Menemukan Arah Jiwa (Dok. Mudabicara.com)

Fihi Ma Fihi: Menepi dalam Keheningan, Menemukan Arah Jiwa (3)

"Manusia bukan hanya makhluk yang sibuk dan produktif, tetapi jiwa yang sadar dan bermakna—yang tahu ke mana harus berlabuh di lautan kehidupan."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang semakin kehilangan dimensi keheningan, lima pasal dalam Fihi Ma Fihi hadir bak oase sunyi yang menyejukkan batin. Buku ini merupakan karya Jalaluddin Rumi, sufi dan penyair besar abad ke-13 yang menulis dengan kedalaman spiritual yang melampaui zaman. Terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2003, dan sejak itu menjelma sebagai salah satu rujukan penting bagi pembaca yang mencari makna dalam keramaian hidup.

Lima pasal yang dibahas—yakni Pasal 16 hingga 20—bukan sekadar untaian ajaran spiritual, tetapi peta kontemplatif bagi jiwa yang gelisah. Ia menyentuh inti terdalam kemanusiaan: bagaimana kita memandang Tuhan, memahami diri, mengingat asal-usul, menata niat, dan menjaga arah pelayaran hidup. Di tangan Rumi, kebijaksanaan bukan teori yang mengawang, melainkan undangan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya—bukan sekadar makhluk sibuk, tapi juga sadar dan bermakna.

Respons masyarakat terhadap buku ini cukup hangat, terutama di kalangan pencari makna di era digital. Banyak yang merasa seolah diajak berdialog langsung dengan Rumi—bukan sebagai guru yang menggurui, tapi sebagai sahabat batin yang lembut. Dalam pusaran zaman yang menyembah pencapaian dan kecepatan, lima pasal ini mengajak kita menepi sejenak, merenungi arah hidup, dan mempertanyakan: masihkah kita tahu ke mana harus berlabuh?

Pasal 16 – Siapa Yang Melihatnya, Berarti Ia Sudah Melihat-Ku

“Kalau hati kita jernih, kita bisa melihat Tuhan lewat apa pun di dunia ini.”

Kalimat ini adalah pernyataan puncak spiritualitas: bahwa Tuhan bisa ditemukan dalam ciptaan-Nya. Siapa yang mampu melihat dengan mata batin, akan melihat Tuhan dalam mata orang lain, dalam daun yang gugur, dalam jalanan yang sepi. Tapi tentu saja, ini bukan melihat dengan mata fisik. Ini tentang penglihatan ruhani, tentang kesadaran yang telah dibersihkan dari ego dan kepentingan duniawi. Hanya mereka yang hatinya bersih yang bisa menangkap kilatan cahaya Ilahi di balik segala sesuatu.

Pasal ini menyodorkan ajaran yang sangat radikal dan indah: bahwa Tuhan tidak selalu harus dicari di langit, sebab Ia hadir di bumi—dalam setiap wajah manusia, dalam setiap peristiwa. Maka, jika kita memusuhi orang lain, merendahkan mereka, bahkan membenci, sesungguhnya kita telah menutup pintu untuk mengenal-Nya. Inilah latihan spiritual paling berat: melihat Tuhan dalam orang yang paling menyebalkan, paling berbeda, paling menjengkelkan. Tapi mungkin itulah bentuk cinta tertinggi: mencintai ciptaan-Nya sebagaimana kita ingin dicintai-Nya.

Namun dalam hidup modern yang serbacepat dan serbacepat, kehadiran sering tergantikan oleh distraksi. Alternatifnya adalah menghadirkan mindfulness dalam rutinitas: menyadari napas, langkah, dan tatapan sebagai bentuk kehadiran bersama Yang Mahahadir. Itulah ihsan dalam tindakan.

Pasal 17 – Manusia Adalah Kombinasi Malaikat dan Binatang

“Dalam diri kita ada sisi baik dan sisi buruk. Kitalah yang menentukan siapa yang akan menang.”

Ini adalah pengakuan yang jujur sekaligus kompleks tentang hakikat manusia. Kita bukan makhluk sempurna, tapi juga bukan sepenuhnya rusak. Dalam diri kita ada potensi ketuhanan seperti malaikat—penuh kasih, sadar, dan tulus. Tapi di sisi lain, ada pula insting kebinatangan: ego, amarah, syahwat, dan kerakusan. Pasal ini mengajak kita untuk tidak memutlakkan sisi mana pun. Kita bukan dewa, tapi juga bukan setan. Kita adalah makhluk yang terus bernegosiasi antara surga dan rimba.

Ketika kita melihat kejahatan di luar sana—perang, korupsi, kekerasan—kita bisa melihat bahwa sisi binatang dalam manusia sedang berkuasa. Tapi saat kita menyaksikan pengorbanan seorang ibu, ketulusan seorang sahabat, atau kebaikan dari orang asing, kita melihat malaikat dalam wujud manusia. Pasal ini seperti cermin: apakah aku memberi ruang lebih besar pada sisi malaikat dalam diriku, atau membiarkan naluri binatang yang menguasai? Pertanyaan ini layak kita renungkan setiap malam sebelum tidur.

Namun sistem sosial kita kerap kali lebih menumbuhkan sisi hewani: kompetisi brutal, kerakusan, dan egosentrisme. Ikhtiar kita adalah menumbuhkan ruang-ruang yang menyeimbangkan: pendidikan karakter, seni, dan spiritualitas yang mengajak pada keluhuran. Malaikat dan binatang itu tak hilang, tinggal siapa yang lebih dominan.

Pasal 18 – Setetes Air Dari Hari Alastu

“Sebelum lahir ke dunia, jiwa kita sudah pernah kenal Tuhan. Sekarang tugas kita hanya mengingat-Nya kembali.”

Hari Alastu adalah saat ruh manusia bersaksi bahwa Tuhan adalah Rabb mereka. Pasal ini menegaskan bahwa dalam diri kita masih tersisa setetes air dari momen suci itu—yakni kerinduan primal kepada Tuhan. Kita mungkin lupa, tapi jiwa tidak pernah benar-benar lupa. Itulah sebabnya, meski dikelilingi kenyamanan dunia, kita sering merasa ada sesuatu yang kosong. Kekosongan itu bukan karena kurangnya harta, tapi karena kita jauh dari “rumah”.

Pasal ini menyentuh titik paling sunyi dari spiritualitas: bahwa manusia adalah makhluk yang lupa, tapi sekaligus rindu. Dan rindu yang paling dalam adalah kepada Tuhan. Maka jangan heran jika suatu malam, di tengah keheningan, kita tiba-tiba menangis tanpa sebab. Bisa jadi itu air dari Hari Alastu yang kembali menetes. Pasal ini mengajak kita menengok ulang arah: jangan sampai kita terus berjalan jauh, tapi lupa arah pulang.

Di zaman serba pragmatis, kesadaran ini mudah terkubur. Alternatifnya adalah memperbanyak perenungan tentang asal dan tujuan. Dalam praktik, bisa berupa ziarah, tafakur, atau membaca ulang kisah-kisah spiritual sebagai upaya menyingkap tabir yang menutup ingatan primordial kita.

Pasal 19 – Yang Terpenting Adalah Tujuannya

“Kalau niat kita lurus, meski jalannya berliku, kita tetap akan sampai ke tujuan.”

Pasal ini terdengar seperti pelajaran klasik, tapi relevansinya tak pernah luntur. Dalam hidup, arah lebih penting dari kecepatan. Kita bisa saja lari sangat cepat, tapi jika arahnya keliru, kita justru menjauh dari kebenaran. Banyak orang hari ini hidup seperti pelari maraton yang tak tahu lintasan. Mereka sibuk, produktif, sukses... tapi entah untuk apa. Pasal ini hadir untuk menyodorkan pertanyaan paling mendasar: untuk apa aku hidup?

Kita sering mengukur hidup dari pencapaian, bukan dari kejelasan tujuan. Maka kita mengoleksi benda, jabatan, bahkan pasangan—tapi tetap merasa hampa. Pasal ini mengingatkan bahwa tanpa tujuan yang benar, hidup hanya jadi rutinitas yang melelahkan. Tujuan hidup bukan harus besar, tapi harus benar. Dan benar bukan berarti populer. Barangkali, tujuan yang benar justru yang paling sunyi, paling sederhana: kembali menjadi hamba yang utuh.

Namun dunia hari ini lebih peduli pada pencapaian ketimbang niat. Akibatnya, banyak orang kehilangan arah meskipun tampak sibuk. Solusinya adalah menghidupkan kembali etika niat dalam aktivitas sosial, pendidikan, dan bahkan kebijakan publik. Pendidikan karakter bisa dimulai dari niat.

Pasal 20 – Berlayar Mengarungi Wujud Manusia

“Tubuh ini seperti perahu. Kalau kita tak tahu ke mana hendak pergi, kita bisa hanyut ke mana-mana.”

Pasal ini adalah penutup yang sangat filosofis. Ia menggambarkan hidup sebagai pelayaran, dan tubuh kita sebagai perahu yang mengarungi samudra kehidupan. Tubuh bukan sekadar daging dan tulang, tapi juga rumah bagi ruh. Maka kita harus merawatnya, tapi tak boleh menganggapnya sebagai tujuan akhir. Sebab pelayaran ini punya tujuan: bertemu dengan Yang Menciptakan.

Tapi pelayaran ini tidak mudah. Ada badai, ombak, bahkan lubang dalam kapal. Kita bisa kehilangan arah, kehilangan kendali. Tapi selama ada kompas batin—yakni kesadaran spiritual—kita masih bisa kembali ke jalur. Pasal ini menanamkan harapan: bahwa meski pelayaran kita tersesat, masih ada cahaya mercusuar di kejauhan. Kita hanya perlu berhenti sejenak, mendengarkan suara angin, dan kembali mengarungi lautan dengan hati yang tenang.

Sayangnya, banyak orang hanya hidup di permukaan. Solusinya adalah membangun ruang dialog batin, membaca sastra, dan berlatih mendengar. Sebab manusia tak cukup dipahami lewat logika; ia harus dirasa.

Penutup

Langkah terakhir dalam perenungan ini bukanlah titik akhir, melainkan jeda sejenak untuk menarik napas dan menatap ulang arah. Dalam perjalanan hidup, tikungan-tikungan tajam sering kali mengejutkan, namun justru di situlah kita dipaksa untuk melambat, menoleh ke dalam, dan menemukan cermin paling jujur tentang siapa diri kita sebenarnya. Hidup bukan hanya tentang ke mana kita ingin sampai, tapi juga tentang bagaimana kita melangkah.

Maka, mari sesekali menepi. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyadari kembali alasan kita berjalan. Mungkin dari sepuluh pasal yang telah dibaca, ada satu yang diam-diam mengetuk hati. Pertanyaannya kini: sudahkah kita cukup hadir, cukup hening, untuk benar-benar mendengarkannya? Wallahu a’lam

Daftar Pustaka

Rumi, Jalaluddin. Fihi Ma Fihi: Inilah yang Tersirat. Terj. oleh Haidar Bagir. Jakarta: Mizan, 2003.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun