Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book

Fihi Ma Fihi: Menepi dalam Keheningan, Menemukan Arah Jiwa (3)

29 Mei 2025   10:55 Diperbarui: 29 Mei 2025   10:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menepi dalam Keheningan, Menemukan Arah Jiwa (Dok. Mudabicara.com)

Pasal ini menyodorkan ajaran yang sangat radikal dan indah: bahwa Tuhan tidak selalu harus dicari di langit, sebab Ia hadir di bumi—dalam setiap wajah manusia, dalam setiap peristiwa. Maka, jika kita memusuhi orang lain, merendahkan mereka, bahkan membenci, sesungguhnya kita telah menutup pintu untuk mengenal-Nya. Inilah latihan spiritual paling berat: melihat Tuhan dalam orang yang paling menyebalkan, paling berbeda, paling menjengkelkan. Tapi mungkin itulah bentuk cinta tertinggi: mencintai ciptaan-Nya sebagaimana kita ingin dicintai-Nya.

Namun dalam hidup modern yang serbacepat dan serbacepat, kehadiran sering tergantikan oleh distraksi. Alternatifnya adalah menghadirkan mindfulness dalam rutinitas: menyadari napas, langkah, dan tatapan sebagai bentuk kehadiran bersama Yang Mahahadir. Itulah ihsan dalam tindakan.

Pasal 17 – Manusia Adalah Kombinasi Malaikat dan Binatang

“Dalam diri kita ada sisi baik dan sisi buruk. Kitalah yang menentukan siapa yang akan menang.”

Ini adalah pengakuan yang jujur sekaligus kompleks tentang hakikat manusia. Kita bukan makhluk sempurna, tapi juga bukan sepenuhnya rusak. Dalam diri kita ada potensi ketuhanan seperti malaikat—penuh kasih, sadar, dan tulus. Tapi di sisi lain, ada pula insting kebinatangan: ego, amarah, syahwat, dan kerakusan. Pasal ini mengajak kita untuk tidak memutlakkan sisi mana pun. Kita bukan dewa, tapi juga bukan setan. Kita adalah makhluk yang terus bernegosiasi antara surga dan rimba.

Ketika kita melihat kejahatan di luar sana—perang, korupsi, kekerasan—kita bisa melihat bahwa sisi binatang dalam manusia sedang berkuasa. Tapi saat kita menyaksikan pengorbanan seorang ibu, ketulusan seorang sahabat, atau kebaikan dari orang asing, kita melihat malaikat dalam wujud manusia. Pasal ini seperti cermin: apakah aku memberi ruang lebih besar pada sisi malaikat dalam diriku, atau membiarkan naluri binatang yang menguasai? Pertanyaan ini layak kita renungkan setiap malam sebelum tidur.

Namun sistem sosial kita kerap kali lebih menumbuhkan sisi hewani: kompetisi brutal, kerakusan, dan egosentrisme. Ikhtiar kita adalah menumbuhkan ruang-ruang yang menyeimbangkan: pendidikan karakter, seni, dan spiritualitas yang mengajak pada keluhuran. Malaikat dan binatang itu tak hilang, tinggal siapa yang lebih dominan.

Pasal 18 – Setetes Air Dari Hari Alastu

“Sebelum lahir ke dunia, jiwa kita sudah pernah kenal Tuhan. Sekarang tugas kita hanya mengingat-Nya kembali.”

Hari Alastu adalah saat ruh manusia bersaksi bahwa Tuhan adalah Rabb mereka. Pasal ini menegaskan bahwa dalam diri kita masih tersisa setetes air dari momen suci itu—yakni kerinduan primal kepada Tuhan. Kita mungkin lupa, tapi jiwa tidak pernah benar-benar lupa. Itulah sebabnya, meski dikelilingi kenyamanan dunia, kita sering merasa ada sesuatu yang kosong. Kekosongan itu bukan karena kurangnya harta, tapi karena kita jauh dari “rumah”.

Pasal ini menyentuh titik paling sunyi dari spiritualitas: bahwa manusia adalah makhluk yang lupa, tapi sekaligus rindu. Dan rindu yang paling dalam adalah kepada Tuhan. Maka jangan heran jika suatu malam, di tengah keheningan, kita tiba-tiba menangis tanpa sebab. Bisa jadi itu air dari Hari Alastu yang kembali menetes. Pasal ini mengajak kita menengok ulang arah: jangan sampai kita terus berjalan jauh, tapi lupa arah pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun