Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book

Fihi Ma Fihi: Menepi dalam Keheningan, Menemukan Arah Jiwa (3)

29 Mei 2025   10:55 Diperbarui: 29 Mei 2025   10:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman serba pragmatis, kesadaran ini mudah terkubur. Alternatifnya adalah memperbanyak perenungan tentang asal dan tujuan. Dalam praktik, bisa berupa ziarah, tafakur, atau membaca ulang kisah-kisah spiritual sebagai upaya menyingkap tabir yang menutup ingatan primordial kita.

Pasal 19 – Yang Terpenting Adalah Tujuannya

“Kalau niat kita lurus, meski jalannya berliku, kita tetap akan sampai ke tujuan.”

Pasal ini terdengar seperti pelajaran klasik, tapi relevansinya tak pernah luntur. Dalam hidup, arah lebih penting dari kecepatan. Kita bisa saja lari sangat cepat, tapi jika arahnya keliru, kita justru menjauh dari kebenaran. Banyak orang hari ini hidup seperti pelari maraton yang tak tahu lintasan. Mereka sibuk, produktif, sukses... tapi entah untuk apa. Pasal ini hadir untuk menyodorkan pertanyaan paling mendasar: untuk apa aku hidup?

Kita sering mengukur hidup dari pencapaian, bukan dari kejelasan tujuan. Maka kita mengoleksi benda, jabatan, bahkan pasangan—tapi tetap merasa hampa. Pasal ini mengingatkan bahwa tanpa tujuan yang benar, hidup hanya jadi rutinitas yang melelahkan. Tujuan hidup bukan harus besar, tapi harus benar. Dan benar bukan berarti populer. Barangkali, tujuan yang benar justru yang paling sunyi, paling sederhana: kembali menjadi hamba yang utuh.

Namun dunia hari ini lebih peduli pada pencapaian ketimbang niat. Akibatnya, banyak orang kehilangan arah meskipun tampak sibuk. Solusinya adalah menghidupkan kembali etika niat dalam aktivitas sosial, pendidikan, dan bahkan kebijakan publik. Pendidikan karakter bisa dimulai dari niat.

Pasal 20 – Berlayar Mengarungi Wujud Manusia

“Tubuh ini seperti perahu. Kalau kita tak tahu ke mana hendak pergi, kita bisa hanyut ke mana-mana.”

Pasal ini adalah penutup yang sangat filosofis. Ia menggambarkan hidup sebagai pelayaran, dan tubuh kita sebagai perahu yang mengarungi samudra kehidupan. Tubuh bukan sekadar daging dan tulang, tapi juga rumah bagi ruh. Maka kita harus merawatnya, tapi tak boleh menganggapnya sebagai tujuan akhir. Sebab pelayaran ini punya tujuan: bertemu dengan Yang Menciptakan.

Tapi pelayaran ini tidak mudah. Ada badai, ombak, bahkan lubang dalam kapal. Kita bisa kehilangan arah, kehilangan kendali. Tapi selama ada kompas batin—yakni kesadaran spiritual—kita masih bisa kembali ke jalur. Pasal ini menanamkan harapan: bahwa meski pelayaran kita tersesat, masih ada cahaya mercusuar di kejauhan. Kita hanya perlu berhenti sejenak, mendengarkan suara angin, dan kembali mengarungi lautan dengan hati yang tenang.

Sayangnya, banyak orang hanya hidup di permukaan. Solusinya adalah membangun ruang dialog batin, membaca sastra, dan berlatih mendengar. Sebab manusia tak cukup dipahami lewat logika; ia harus dirasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun