Fihi Ma Fihi: Menepi dalam Keheningan, Menemukan Arah Jiwa (3)
"Manusia bukan hanya makhluk yang sibuk dan produktif, tetapi jiwa yang sadar dan bermakna—yang tahu ke mana harus berlabuh di lautan kehidupan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang semakin kehilangan dimensi keheningan, lima pasal dalam Fihi Ma Fihi hadir bak oase sunyi yang menyejukkan batin. Buku ini merupakan karya Jalaluddin Rumi, sufi dan penyair besar abad ke-13 yang menulis dengan kedalaman spiritual yang melampaui zaman. Terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2003, dan sejak itu menjelma sebagai salah satu rujukan penting bagi pembaca yang mencari makna dalam keramaian hidup.
Lima pasal yang dibahas—yakni Pasal 16 hingga 20—bukan sekadar untaian ajaran spiritual, tetapi peta kontemplatif bagi jiwa yang gelisah. Ia menyentuh inti terdalam kemanusiaan: bagaimana kita memandang Tuhan, memahami diri, mengingat asal-usul, menata niat, dan menjaga arah pelayaran hidup. Di tangan Rumi, kebijaksanaan bukan teori yang mengawang, melainkan undangan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya—bukan sekadar makhluk sibuk, tapi juga sadar dan bermakna.
Respons masyarakat terhadap buku ini cukup hangat, terutama di kalangan pencari makna di era digital. Banyak yang merasa seolah diajak berdialog langsung dengan Rumi—bukan sebagai guru yang menggurui, tapi sebagai sahabat batin yang lembut. Dalam pusaran zaman yang menyembah pencapaian dan kecepatan, lima pasal ini mengajak kita menepi sejenak, merenungi arah hidup, dan mempertanyakan: masihkah kita tahu ke mana harus berlabuh?
Pasal 16 – Siapa Yang Melihatnya, Berarti Ia Sudah Melihat-Ku
“Kalau hati kita jernih, kita bisa melihat Tuhan lewat apa pun di dunia ini.”
Kalimat ini adalah pernyataan puncak spiritualitas: bahwa Tuhan bisa ditemukan dalam ciptaan-Nya. Siapa yang mampu melihat dengan mata batin, akan melihat Tuhan dalam mata orang lain, dalam daun yang gugur, dalam jalanan yang sepi. Tapi tentu saja, ini bukan melihat dengan mata fisik. Ini tentang penglihatan ruhani, tentang kesadaran yang telah dibersihkan dari ego dan kepentingan duniawi. Hanya mereka yang hatinya bersih yang bisa menangkap kilatan cahaya Ilahi di balik segala sesuatu.