"Maaf Saya Bikin Gaduh, Tapi Rakyat Tak Butuh Pemimpin yang Diam"
"Pemimpin yang diam itu bukan tak bersalah, tapi abai. Dan abai adalah bentuk pengkhianatan paling tenang." --- Catatan Harian KDM
Oleh Karnita
Pendahuluan
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali jadi perbincangan hangat usai menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada masyarakat Jawa Barat lewat akun Instagram-nya, Minggu (13/4/2025). Dalam unggahan itu, ia menyebut, "Maafkan kalau saya selalu bikin kegaduhan." Bagi sebagian orang, ini pengakuan jujur dan rendah hati; bagi sebagian lainnya, ini justru sinyal perlawanan terhadap tekanan politik yang kian membuncah.
Dedi mengakui bahwa sejumlah langkahnya memang sering menimbulkan kontroversi. Ia sadar betul bahwa tindakan cepat dan tegasnya bisa mengundang ketidaknyamanan, terutama di kalangan yang merasa terusik. Namun ia juga menyatakan, kritik adalah vitamin, dan seorang sahabat sejati adalah yang berani mengingatkan.
Sebagai rakyat, kita tak ingin pemimpin yang bungkam demi citra. Kita tak butuh pemimpin yang takut gaduh. Kita butuh mereka yang bertindak cepat, merakyat, dan tak gentar menghadapi ormas yang berulah atau kritik yang tak berdasar. Dedi, dalam kacamata publik, sedang berdiri di persimpangan: tunduk pada tekanan, atau tetap lantang bersama rakyat.
1. Jangan Pernah Takut Bertindak
"Jika kebenaran membuat gaduh, maka biarlah gaduh itu menjadi bagian dari perubahan." --- Dedi Mulyadi
Dalam banyak kasus, langkah tegas memang kerap menimbulkan kehebohan. Tapi apakah kegaduhan itu buruk? Tidak selalu. Ketika kebijakan menyentuh langsung kepentingan publik, akan selalu ada pihak yang merasa terusik. Dedi Mulyadi bukan tipe pemimpin yang mengulur waktu demi menimbang reaksi. Ia langsung bertindak, dan itulah yang membuatnya disukai banyak warga.
Namun, keberanian seperti itu pun harus dilengkapi dengan kesiapan mental menghadapi serangan balik. Kritikan datang tak hanya dari publik biasa, tapi juga dari tokoh-tokoh ormas yang merasa tersinggung. Meski begitu, Dedi tak pernah membalas dengan amarah, melainkan dengan argumen.
Apa yang kita butuhkan di era ini bukanlah pemimpin pencitraan, tapi pemimpin yang mampu bertindak cepat di lapangan dan tidak takut pada stigma "gagal koordinasi" hanya karena bergerak mendahului. Kita tahu, rakyat lebih suka dampak nyata ketimbang rapat panjang yang tak menghasilkan apa-apa.
2. Tegas Bukan Berarti Sewenang-wenang
"Tegas bukan berarti tanpa aturan, tapi justru keberanian menegakkan aturan." --- Mahfud MD
Salah satu kritik yang dialamatkan kepada Dedi adalah soal prosedur. Ia dianggap terlalu terburu-buru. Namun kritik ini bisa jadi hanya persepsi dari mereka yang terbiasa melihat birokrasi sebagai jalur berliku. Faktanya, kebijakan seperti pembentukan Satgas Antipremanisme justru lahir dari keresahan masyarakat.
Dedi tidak bertindak sendiri. Ia selalu menyatakan pentingnya koordinasi dengan instansi seperti kepolisian dan kejaksaan. Namun ketika premanisme sudah terang-terangan meresahkan masyarakat, ia tak akan menunggu aba-aba yang terlalu lama. Ini bukan soal jalan pintas, tapi soal prioritas.
Jika ketegasan itu membuat pihak-pihak tertentu terusik, maka itu risiko yang harus ditanggung. Karena kebaikan publik tak boleh disandera oleh kenyamanan sekelompok elite atau organisasi. Tegas yang terukur selalu lebih baik ketimbang netral yang membingungkan.
3. Lawan Premanisme dengan Ketegasan dan Koordinasi
"Premanisme tak akan punah jika kita terus memberi ruang kompromi atas nama toleransi." --- Ridwan Saidi
Dedi Mulyadi bukan hanya mengungkapkan keresahannya tentang praktik premanisme, tapi juga mengambil langkah nyata. Ia ingin membentuk Satgas Antipremanisme bukan karena benci ormas, tapi karena ia peduli pada warga kecil yang kerap jadi korban intimidasi, pungli, bahkan kekerasan terselubung.
Tentu, langkah ini membuat sebagian ormas merasa tersudut. Tantangan dan undangan diskusi dari Gabryel Etwiorry menunjukkan bahwa resistensi terhadap ketegasan itu nyata. Namun Dedi meresponsnya dengan kepala dingin: ia terbuka untuk dialog, tapi tetap kokoh dalam prinsip.
Menertibkan premanisme bukan tindakan sewenang-wenang. Justru inilah bentuk pelayanan nyata dari seorang pemimpin. Ketegasan tidak harus frontal, tapi bisa elegan lewat koordinasi dan komunikasi yang sehat antarlembaga.
4. Rakyat Tak Butuh Pemimpin yang Aman-Aman Saja
"Pemimpin sejati hadir bukan untuk menyenangkan semua pihak, tapi melindungi yang paling lemah." --- Gus Mus
Sering kali pemimpin terjebak dalam dilema: antara menjaga citra atau memperjuangkan rakyat. Dedi Mulyadi memilih jalan kedua. Ia sadar bahwa sikapnya tidak akan menyenangkan semua pihak, tapi ia tahu bahwa keberpihakannya jelas: pada rakyat.
Jika seorang pemimpin selalu memilih jalan aman, maka kebijakan strategis hanya akan menjadi wacana. Rakyat butuh sosok yang hadir di tengah masalah, bukan di belakang meja birokrasi. Selama ini, langkah Dedi dalam menangani keluhan warga menunjukkan komitmen itu.
Gugatan terhadap kebijakannya tidak sebanding dengan banyaknya apresiasi dari warga yang merasa didengar dan dibantu langsung. Dalam dunia publik yang bising dan penuh konflik kepentingan, sikap lantang dan cepat justru menjadi nilai jual yang langka.
5. Kritik Sehat, Tapi Jangan Dibelokkan
"Kritik harus jernih, bukan alat sabotase politik." --- Yenny Wahid
Dalam demokrasi, kritik itu penting. Tapi belakangan, sebagian kritik kepada Dedi terlihat punya agenda ganda. Ada yang menyasar substansi, tapi tak sedikit yang memelintir narasi untuk menjatuhkan karakter.
Kritik terhadap pembentukan Satgas misalnya, bisa jadi relevan jika dilihat dari sisi prosedural. Namun jika ujungnya menyerang secara pribadi, maka publik juga berhak curiga akan motivasi di baliknya. Dedi menunjukkan kedewasaan dengan tetap membuka ruang dialog.
Kita perlu membedakan antara kritik membangun dan nyinyiran politik. Rakyat berhak tahu kapan pemimpinnya keliru, tapi juga harus sadar kapan pemimpinnya sedang diserang demi kepentingan tersembunyi.
6. Pemimpin Itu Melayani, Bukan Bersembunyi
"Yang pertama turun ke lapangan, itulah pemimpin yang paling layak didengar." --- BJ Habibie
Dedi Mulyadi dikenal aktif menyambangi masyarakat secara langsung. Ketika ada laporan perundungan, ketika ada warga mengadu soal pungli, ia hadir. Itu bukan sekadar pencitraan, tapi bentuk kepemimpinan yang berakar.
Kehadirannya membangun kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu disambut dengan kritik tajam, Dedi tidak lari. Ia tetap hadir, meminta maaf bila perlu, tapi tidak mundur dari tanggung jawab.
Kita sudah terlalu lama hidup dengan pemimpin yang memilih diam demi aman. Maka ketika muncul sosok yang bicara, bertindak, dan siap dikritik, kita seharusnya menyambutnya dengan harapan, bukan kecurigaan berlebihan.
7. Jangan Tunduk pada Tekanan Ormas
"Jika pemimpin tunduk pada tekanan, maka rakyat akan hidup dalam ketakutan." --- Syafii Maarif
Ada ormas yang marah, ada pengacara yang berkoar di televisi. Tapi satu hal yang tidak boleh terjadi adalah pemimpin gentar. Rakyat melihat dan menilai: siapa yang berani berdiri, dan siapa yang sembunyi di balik meja.
Tantangan dialog seharusnya diterima sebagai ruang belajar bersama, tapi bukan sebagai panggung intimidasi. Dedi tahu itu. Maka ia tetap membuka ruang diskusi tanpa mengorbankan prinsip dasar: keselamatan dan kenyamanan publik.
Ormas adalah bagian dari masyarakat sipil. Tapi jika ada yang berubah menjadi alat tekanan dan intimidasi, maka negara harus hadir. Dan pemimpin daerah harus jadi garda terdepan, bukan sekadar penonton.
8. Terus Melaju, Jangan Kendor!
“Jangan kendor! Karena perubahan tak lahir dari keraguan.” --- Dedi Mulyadi
Permintaan maaf bukan tanda menyerah. Itu hanya refleksi bahwa kepemimpinan butuh empati. Tapi di balik empati itu, ada tekad yang tetap membara. Dedi Mulyadi memilih untuk tetap melaju, memperjuangkan hak-hak warga, dan menertibkan penyimpangan.
Tak semua orang siap dengan perubahan. Apalagi jika perubahan itu memotong kenyamanan kelompok tertentu. Tapi selama rakyat kecil merasakan manfaat, maka itu adalah keberhasilan.
Gubernur Jawa Barat ini sedang menunjukkan bahwa menjadi pemimpin bukan soal menyenangkan semua pihak. Tapi soal menyelaraskan keberanian dan pelayanan. Dan dalam soal itu, ia sedang membuktikan bahwa tak semua pemimpin harus lunak agar dianggap bijak.
Penutup
Kita tentu tidak butuh pemimpin yang sempurna. Tapi kita butuh pemimpin yang hadir, tangguh, dan tak goyah ketika menerapkan keadilan. Dalam pusaran kritik dan tekanan, Dedi Mulyadi tetap jadi simbol keberanian yang dibungkus kesantunan.
Jadi, pertanyaannya kini bukan apakah Dedi salah atau benar. Tapi: apakah kita siap berdiri di belakang pemimpin yang tak hanya bicara, tapi juga bertindak? Wallahu a'lam.
Sumber:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI