Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book

Harimau! Harimau!: Menelanjangi Nurani di Tengah Teror

15 April 2025   19:30 Diperbarui: 15 April 2025   19:30 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Bunuhlah dahulu Harimau dalam dirimu!" (Sumber: Gramedia)

Perjalanan para pencari damar berubah dari sekadar ekspedisi menjadi penebusan. Ketika Balam terluka dan mulai mengigaukan dosa, satu per satu topeng pun rontok. Wak Katok yang tampak sakti, ternyata pernah berzina. Pak Haji yang tampak alim, ternyata punya sejarah kekerasan. Harimau yang mengintai ternyata bukan sekadar binatang, melainkan cermin yang memaksa mereka jujur.

Kita pun terpaksa bertanya: harimau apa yang sedang mengintai kita hari ini? Ketakutan kolektif akan kehancuran moral, kemiskinan yang dijadikan komoditas politik, atau ketidakjujuran yang dibungkus doa?

2. Pahlawan yang Gagal Menjadi Manusia

"Ilmu tinggi tak selalu membuat nyali tinggi." — narasi reflektif atas Wak Katok

Harimau! Harimau!:
Harimau! Harimau!: "Ilmu tinggi tak selalu membuat nyali tinggi." (Sumber: Gramedia)

Wak Katok, tokoh yang dari awal disebut sebagai orang yang paling kuat ilmunya, justru menjadi simbol kegagalan moral. Ia tidak mampu menjaga ketenangan kelompok, tidak mampu melindungi, bahkan tak jujur pada dirinya sendiri. Wak Katok adalah potret orang yang dipercaya, namun ternyata menyimpan borok.

Dalam kehidupan nyata, kita terlalu sering menyandarkan harapan pada “tokoh publik” atau “pemimpin” yang kelihatannya paham agama atau punya kekuasaan. Padahal, seperti Wak Katok, banyak dari mereka justru takluk di hadapan ketakutan paling dasar: ketahuan siapa dirinya yang sebenarnya.

Novel ini, dengan kejam dan jujur, menggugat konsep kepemimpinan dan kealiman yang tidak dibarengi keberanian moral. Dan kita, sebagai pembaca, seolah diajak untuk bertanya: apakah kita telah memilih pemimpin yang benar, atau sekadar termakan pencitraan?

3. Pengakuan Dosa: Sebuah Ritual yang Terlambat?

"Akuilah dosa kalian..." — Balam

Momen ketika para pencari damar saling mengakui dosa adalah salah satu bagian paling kuat dalam novel ini. Tak ada ruang untuk pura-pura. Saat malam turun dan kematian terasa dekat, satu per satu mulai bicara. Ada yang mengaku membunuh, ada yang pernah memperkosa, ada yang mencuri. Dosa-dosa itu bukan lagi aib, tapi justru menjadi pembebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun