Harimau! Harimau!: Menelanjangi Nurani di Tengah Teror
"Bunuhlah dahulu Harimau dalam dirimu!" — Mochtar Lubis
Oleh Karnita
Sebuah Buku, Sebuah Luka yang Dikuliti
Harimau! Harimau! adalah novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1975 oleh Penerbit Buku Obor. Ditulis oleh Mochtar Lubis, seorang jurnalis dan sastrawan yang tak pernah berhenti menggugat nurani bangsanya, novel ini terdiri dari 216 halaman yang mencekam, reflektif, dan menelanjangi sisi gelap manusia. Cerita ini disusun dengan bahasa yang tajam namun tetap puitis, khas Lubis, yang sudah kenyang hidup dalam ancaman rezim represif.
Saya tertarik mengulas buku ini karena tidak hanya menghadirkan kisah perburuan harimau di tengah belantara, tapi juga memuat perburuan terhadap dosa-dosa yang lama dikubur. Novel ini tidak sekadar mendebarkan, tapi menyisakan getar getir di dada. Saya ingin menelusuri bagaimana cerita ini menggugat konsep “pahlawan”, “alim”, dan “manusia baik-baik” yang sering kita agungkan secara gegabah.
Di tengah kehidupan bangsa yang hari ini kerap ditandai oleh topeng-topeng moralitas semu, novel ini terasa seperti cermin retak yang tetap jujur. Ketika banyak orang berlomba-lomba terlihat saleh di depan kamera namun diam-diam melukai sesama, barangkali sudah saatnya kita semua bertanya: siapa sebenarnya harimau dalam hidup kita?
1. Harimau yang Menerkam dari Dalam Diri
"Harimau itu adalah utusan Tuhan untuk membunuh orang-orang yang berdosa." — Balam
Harimau dalam novel ini bukan sekadar hewan buas yang lapar. Ia adalah metafora dari rasa takut, rasa bersalah, dan dosa yang diam-diam kita simpan, yang suatu hari datang menggigit balik. Harimau menjadi simbol paling kuat untuk menggambarkan bagaimana manusia tidak bisa kabur dari apa yang ia sembunyikan dalam batin.
Perjalanan para pencari damar berubah dari sekadar ekspedisi menjadi penebusan. Ketika Balam terluka dan mulai mengigaukan dosa, satu per satu topeng pun rontok. Wak Katok yang tampak sakti, ternyata pernah berzina. Pak Haji yang tampak alim, ternyata punya sejarah kekerasan. Harimau yang mengintai ternyata bukan sekadar binatang, melainkan cermin yang memaksa mereka jujur.
Kita pun terpaksa bertanya: harimau apa yang sedang mengintai kita hari ini? Ketakutan kolektif akan kehancuran moral, kemiskinan yang dijadikan komoditas politik, atau ketidakjujuran yang dibungkus doa?
2. Pahlawan yang Gagal Menjadi Manusia
"Ilmu tinggi tak selalu membuat nyali tinggi." — narasi reflektif atas Wak Katok
Wak Katok, tokoh yang dari awal disebut sebagai orang yang paling kuat ilmunya, justru menjadi simbol kegagalan moral. Ia tidak mampu menjaga ketenangan kelompok, tidak mampu melindungi, bahkan tak jujur pada dirinya sendiri. Wak Katok adalah potret orang yang dipercaya, namun ternyata menyimpan borok.
Dalam kehidupan nyata, kita terlalu sering menyandarkan harapan pada “tokoh publik” atau “pemimpin” yang kelihatannya paham agama atau punya kekuasaan. Padahal, seperti Wak Katok, banyak dari mereka justru takluk di hadapan ketakutan paling dasar: ketahuan siapa dirinya yang sebenarnya.
Novel ini, dengan kejam dan jujur, menggugat konsep kepemimpinan dan kealiman yang tidak dibarengi keberanian moral. Dan kita, sebagai pembaca, seolah diajak untuk bertanya: apakah kita telah memilih pemimpin yang benar, atau sekadar termakan pencitraan?
3. Pengakuan Dosa: Sebuah Ritual yang Terlambat?
"Akuilah dosa kalian..." — Balam
Momen ketika para pencari damar saling mengakui dosa adalah salah satu bagian paling kuat dalam novel ini. Tak ada ruang untuk pura-pura. Saat malam turun dan kematian terasa dekat, satu per satu mulai bicara. Ada yang mengaku membunuh, ada yang pernah memperkosa, ada yang mencuri. Dosa-dosa itu bukan lagi aib, tapi justru menjadi pembebas.
Namun, sayangnya, pengakuan itu datang saat nyawa sudah di ujung tanduk. Ia menjadi ritual yang terlambat. Dan kita tahu, harimau tidak peduli apakah manusia menyesal atau tidak.
Dalam konteks sosial hari ini, kita pun bertanya: mengapa kita selalu menunggu tragedi sebelum mau jujur? Mengapa pengakuan baru muncul saat bencana datang? Barangkali, bangsa ini belum benar-benar belajar dari luka, karena kita lebih sibuk menutupinya.
4. Alam yang Tak Netral: Hutan Sebagai Hakim
"Hutan tak peduli siapa kau di luar sana." — refleksi atas seting novel
Latar hutan dalam Harimau! Harimau! bukan sekadar ruang geografis. Ia adalah panggung purba di mana semua topeng manusia tak berlaku. Di sana, tidak ada gelar, tidak ada jabatan, tidak ada reputasi. Hanya ada naluri, keberanian, dan kebenaran yang telanjang.
Mochtar Lubis seakan ingin menunjukkan bahwa di tengah alam liar, hanya nurani yang bisa menyelamatkan kita. Bukan popularitas, bukan kekuasaan, bukan kesalehan palsu. Hutan menjadi metafora paling jujur untuk menyaring siapa kita sebenarnya.
Apakah kita siap masuk ke “hutan” kehidupan, di mana kita diuji bukan oleh pencitraan, melainkan oleh keputusan-keputusan nyata yang kita ambil saat krisis datang?
5. Takdir dan Kesempatan Kedua
"Harimau tidak memilih siapa yang akan disergap terlebih dahulu." — narasi penuh teror
Dalam novel ini, siapa yang lebih dulu menjadi korban bukan karena paling berdosa atau paling lemah. Takdir hadir seperti lemparan dadu. Dan ini membuat kita sadar bahwa kesempatan untuk memperbaiki diri tidak selalu datang sesuai waktu yang kita mau.
Pak Haji, yang selama ini diagungkan, tidak kebal dari maut. Bahkan mereka yang sudah mengaku dosa pun tak otomatis selamat. Harimau tidak menjanjikan keselamatan bagi yang bertobat, karena hidup tidak selalu bekerja seadil itu.
Refleksi dari bagian ini menggugah kita untuk tak menunda berbenah. Jangan tunggu harimau datang mengintai, baru sadar kita punya luka yang belum disembuhkan. Jangan tunggu krisis datang, baru kita sadar bahwa hidup bukan sekadar pencitraan.
6. Manusia dan Kepalsuan yang Sistematis
"Cangkang yang mereka bangun untuk menutupi kebusukan-kebusukan, seketika runtuh." — narasi kehancuran citra
Novel ini menunjukkan bahwa kepalsuan bukan sekadar kesalahan individu, tapi bisa menjadi sistem yang disepakati bersama. Para tokoh saling membiarkan citra palsu berdiri, saling menyokong kebohongan, hingga mereka semua tertelan oleh dosa kolektif.
Apakah kita tidak sedang melakukan hal yang sama? Kita membiarkan birokrat korup karena “dia baik kok di luar”. Kita membiarkan kekerasan terjadi karena “itu urusan pribadi mereka.” Kita membiarkan kemunafikan berjamaah tumbuh subur karena kita takut membongkar kenyataan.
Mochtar Lubis, lewat cerita ini, seperti ingin menampar kita: sudah berapa lama kita hidup dalam sistem kepalsuan? Dan, beranikah kita membunuh harimau yang kita ciptakan sendiri?
“Karya Besar yang Membentuk Kesadaran Baru” — Kedudukan Harimau! Harimau! dalam Peta Sastra Indonesia
Tak berlebihan jika menempatkan Harimau! Harimau! sebagai salah satu karya puncak sastra Indonesia. Mochtar Lubis tidak sekadar bercerita tentang perburuan di hutan, melainkan menyuguhkan refleksi atas moralitas, kepalsuan, dan nurani manusia. Ia menulis dengan ketegangan yang konstan, membentuk atmosfer psikologis yang kuat.
Karya ini juga menjadi tonggak penting dalam tradisi sastra yang kritis terhadap otoritas dan kemunafikan sosial. Bila dibandingkan dengan angkatan sebelumnya, novel ini tampil sebagai jembatan menuju sastra yang lebih dalam dan reflektif. Ia terus dibaca ulang karena relevansi dan keberaniannya dalam mengungkap sisi kelam manusia.
“Di Balik Taring Harimau: Kelebihan dan Kelemahan Novel Ini”
Salah satu kekuatan utama novel ini adalah keberhasilannya menggabungkan ketegangan fisik dan moral. Setting hutan yang mencekam menjadi simbol dari belantara batin manusia. Simbolisme harimau sebagai dosa dan kemunafikan terasa menggigit, tanpa menggurui.
Namun, gaya narasi yang serius dan karakter yang cenderung simbolik bisa terasa kaku bagi pembaca modern. Meski demikian, kelemahan ini tak merusak bangunan cerita. Ia justru menunjukkan corak khas narasi era 1970-an yang lebih mengedepankan pesan moral.
Alih-alih cepat dan ringan, novel ini mengajak pembaca merenung perlahan. Kekuatannya justru terletak pada ruang kontemplatif yang disediakan: membaca bukan untuk sekadar tahu, tapi untuk berani menengok ke dalam diri sendiri.
“Bunuhlah Harimaumu, Sekarang Juga” — Urgensi dan Kontribusi untuk Konteks Kekinian
Di tengah zaman yang penuh pencitraan dan politik moral, pesan novel ini tetap relevan: beranilah menghadapi kebenaran dalam diri sendiri. “Harimau” bukan sekadar hewan, tapi bayangan dari ego dan kemunafikan yang tersembunyi di balik wajah manusia.
Harimau! Harimau! bukan hanya bacaan sastra, melainkan cermin untuk bangsa ini. Ia mengingatkan bahwa perubahan sosial sejati dimulai dari pengakuan personal. Dalam kebisingan moral hari ini, suara tenangnya tetap menusuk: “Bunuhlah dahulu harimau dalam dirimu.”
Penutup: Menelanjangi Harimau, Menerangi Nurani
Membaca Harimau! Harimau! adalah seperti masuk ke dalam labirin jiwa manusia. Lubis tidak sedang menyodorkan hiburan, tapi membuka luka yang lama kita tutupi. Ia tidak menulis untuk menyenangkan hati, tapi untuk menggugah kesadaran. Dan ketika lembar terakhir ditutup, kita seakan dipaksa menatap cermin dan bertanya: harimau macam apa yang sedang hidup dalam diriku?
Lantas, jika kita semua punya harimau dalam diri masing-masing, beranikah kita membunuhnya sebelum ia menerkam kita terlebih dahulu? Wallahu a'lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI