Di tangan Eka Kurniawan, cerita pendek tidak hanya menjadi wahana hiburan, tetapi juga medium refleksi yang tajam. Dari cerpen pertama hingga terakhir, kita diajak menelusuri berbagai tema---dari cinta yang memudar, absurditas kekuasaan, kegelisahan kelas sosial, hingga pemberontakan dalam bentuk paling diam. Karakter-karakter yang muncul pun bukanlah tokoh agung atau pahlawan besar, melainkan mereka yang tertindas, terpinggirkan, atau justru tak dianggap. Dan di situlah kekuatan buku ini: membuat yang "kecil" jadi lantang, yang "remeh" jadi penting.
Seperti yang ditulis Eka dalam salah satu cerpennya, "Karena tak ada tempat lain untuk mencurahkan kekesalan, aku menulis di toilet." (Corat-Coret di Toilet, 2000). Toilet---sebagai metafora dari ruang buangan---justru jadi tempat paling jujur untuk menyuarakan keresahan. Barangkali, di tengah riuh dunia yang makin gaduh ini, kita semua sesekali butuh ruang seperti itu: tempat untuk menggerutu, menggugat, atau sekadar mengingat bahwa kita masih manusia. Masih merasa. Masih berpikir. Masih berani menulis---meski hanya di dinding toilet. Wallahu a'lam.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI