Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book

"Kami Hanya Ingin Didengar, Meski Lewat Dinding Toilet!"

14 April 2025   03:27 Diperbarui: 14 April 2025   03:27 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Kami bukan teroris. Kami hanya mahasiswa yang senang corat-coret di toilet."  (Sumber: Freepik)

2. Dongeng Sebelum Bercinta

Seorang pria mengisahkan dongeng pada kekasihnya menjelang hubungan intim. Cerita yang ia bawakan bukan kisah manis, melainkan alegori kekuasaan, kekerasan, dan perlawanan. Dongeng itu berlapis, mengaburkan batas antara cerita dan kenyataan, antara cinta dan dendam.

Saat narasi dongeng semakin gelap, ketegangan antara keduanya ikut meningkat. Kekasih si pria tak lagi yakin apakah ini hanyalah pengantar bercinta atau justru pembongkaran luka batin terdalam. Cerita berubah menjadi semacam pengakuan, dan momen intim pun menjadi panggung kritik sosial.

Melalui kisah ini, Eka Kurniawan menyentil bahwa bahkan dalam ruang-ruang personal, ideologi dan kekuasaan menyelinap. Seksualitas menjadi ladang tafsir sosial yang rumit---ia bisa memelihara cinta, tapi juga menyimpan luka sejarah yang tak selesai.

3. Corat-Coret di Toilet

Mahasiswa-mahasiswa dalam cerpen ini mengekspresikan keresahan sosial-politik mereka lewat coretan di toilet kampus. Toilet berubah menjadi medium perlawanan, tempat paling jujur menyuarakan kritik, karena ruang publik tak lagi aman bagi kejujuran.

Ketika pihak kampus membersihkan coretan, muncul coretan baru yang lebih liar. Konflik pun berkembang antara mahasiswa, penguasa kampus, dan bahkan sesama penulis anonim. Kebebasan berekspresi dan represi saling membentur dalam ruang sempit bernama WC.

Cerpen ini kuat merepresentasikan kondisi bangsa ketika suara-suara muda dibungkam. Ia mengingatkan kita: bahkan jika mikrofon disita, tembok dan pintu toilet pun bisa bicara. Sebuah metafora tajam untuk zaman ketika suara-suara kebenaran hanya bisa bersembunyi di balik pintu kamar kecil.

4. Teman Kencan

Kisah ini berpusat pada seorang lelaki kesepian yang menyewa seorang perempuan untuk menemaninya berjalan-jalan. Bukan seks yang dicarinya, melainkan kehangatan dalam bentuk yang paling sederhana: ditemani, didengar, dan dipahami.

Seiring waktu, relasi mereka menjadi lebih dalam. Namun, batas antara ketulusan dan transaksional menjadi kabur. Ketika perasaan mulai tumbuh, kenyataan sosial---termasuk latar pekerjaan dan kesenjangan emosi---membenturkan mereka pada batas-batas kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun