Gaya Pram ini membuat saya merasa dekat dengan tokohnya. Minke bukan hanya karakter, tapi terasa seperti teman yang sedang curhat sambil berjalan menyusuri jalan berdebu. Bahasa yang hidup ini adalah kekuatan utama Pram, yang membuat sejarah terasa intim, dan perjuangan menjadi milik bersama.
Relevansi yang Tak Pernah Padam
Yang paling menggetarkan dari Jejak Langkah adalah kenyataan bahwa meski ditulis bertahun lalu, ia masih sangat relevan hari ini. Persoalan media, identitas, pengkhianatan elite, hingga kesepian para pejuang masih terasa nyata. Membaca novel ini seperti membuka jendela untuk melihat masa lalu, dan dalam pantulan kacanya, kita melihat wajah hari ini.
Pram mengingatkan kita bahwa sejarah bukan sekadar catatan, tapi juga peringatan. Kalau kita tak belajar dari masa lalu, maka kita hanya akan mengulang luka yang sama. Maka Jejak Langkah bukan hanya novel, tapi semacam warisan moral bagi bangsa ini.
Penutup: Menyambung Jejak yang Terputus
Ketika saya menutup novel ini, ada perasaan haru yang tak bisa dijelaskan. Seolah saya baru saja melepas tangan seorang sahabat yang harus berjalan sendiri ke tempat yang jauh. Tapi Pram tak ingin kita sekadar bersedih. Ia ingin kita menyambung jejak Minke, meneruskan langkah yang dulu sempat terputus oleh kekuasaan yang membungkam.
Maka membaca Jejak Langkah bukan hanya pengalaman sastra, tapi juga panggilan moral. Ia mengajak kita untuk menulis sejarah baru dengan kesadaran, keberanian, dan cinta pada tanah air. Dan seperti Minke, mungkin kita tak selalu menang. Tapi setidaknya kita tak berhenti melangkah. Wallahu a’lam.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Jejak_Langkah_(novel)