Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seabad Pram: Jejak Langkah dalam Cermin Sejarah Bangsa

20 Maret 2025   23:23 Diperbarui: 20 Maret 2025   23:23 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Novel Ketiga Tetralogi Pulau Buru, Jejak Lagkah, Pramoedya (Sumber: Freepik)

Sayangnya, semua langkah besar itu tak berjalan mulus. Kekuasaan kolonial tak tinggal diam. Media dibredel, organisasi dilarang, dan gerakan perlahan dikekang. Akhirnya, Minke harus menerima kenyataan pahit: dirinya dianggap ancaman. Ia dibuang, diasingkan, dan ditulis ulang oleh sejarah yang ingin membungkamnya. Tapi justru dari pembuangan itu, suara Minke tetap hidup—karena Pram telah memastikan bahwa kisahnya tak akan lenyap begitu saja.

Organisasi: Mimpi Kolektif yang Terluka

Di titik ini, Minke mencoba membangun sesuatu yang lebih besar dari dirinya: organisasi yang menyatukan suara kaum pribumi. Ia percaya, kemerdekaan tak bisa diperjuangkan sendiri. Maka ia pun menghimpun para pemuda, tokoh masyarakat, dan rekan seide untuk berdiri bersama. Tapi semangat kolektif itu tak selalu seindah teorinya. Ego, perbedaan pandangan, dan kecemburuan antaranggota sering kali membuat organisasi goyah bahkan sebelum benar-benar kuat.

Saya merasa bagian ini adalah pengingat bagi kita hari ini. Bahwa membangun gerakan sosial bukan hanya soal niat baik, tapi juga seni merawat kepercayaan dan kerendahan hati. Dalam novel ini, kita belajar bahwa kegagalan organisasi bukan semata karena tekanan luar, tapi juga karena kita sering gagal menyatukan langkah di dalam. Dan dalam setiap kegagalan itu, Minke tak berhenti belajar.

Pers dan Kebenaran yang Dibredel

Gambar: Jejak Langkah Hidup Pramoedya Ananta Toer (Sumber: Freepik)
Gambar: Jejak Langkah Hidup Pramoedya Ananta Toer (Sumber: Freepik)

Minke tak berhenti pada organisasi. Ia menjadikan surat kabar sebagai perpanjangan lidah hati dan pikirannya. Ia sadar bahwa membentuk opini publik adalah kekuatan besar. Surat kabar Medan menjadi senjata yang tajam, yang mengguncang dominasi informasi versi kolonial. Tapi seperti yang sering terjadi dalam sejarah, suara kebenaran sering dianggap ancaman. Medan pun dibredel, dibungkam, dan dipaksa diam.

Bagian ini menggugah kesadaran saya tentang betapa pentingnya kebebasan pers. Dalam dunia hari ini, di mana informasi bisa direkayasa, disebarkan secara bias, dan dikendalikan oleh kepentingan, kisah Medan adalah cermin yang sangat relevan. Kebebasan berbicara bukan hadiah, tapi hasil dari perjuangan panjang dan berisiko tinggi. Dan Minke, dengan segala keterbatasannya, berani mengambil risiko itu.

Sepi di Tengah Perjuangan

Meski tampak sibuk dengan pergerakan dan tulisan, tak bisa disangkal bahwa hidup Minke dilingkupi kesepian. Ia telah kehilangan cinta, dan hidupnya kini hanya diisi oleh perjuangan yang tak selalu menghasilkan kemenangan. Ia bahkan mulai merasa jauh dari orang-orang seide yang dulu mendukungnya. Semakin tinggi idealisme yang ia junjung, semakin sepi jalan yang harus ia tempuh.

Saya merasa sangat tersentuh oleh bagian ini. Bahwa di balik sorak-sorai revolusi, ada manusia yang sunyi. Kita sering mengidolakan tokoh-tokoh besar tanpa menyadari beban kesepian yang mereka pikul. Minke mengajarkan bahwa menjadi pelopor tak selalu berarti menjadi pemenang dalam hidup pribadi. Kadang, harga dari perubahan adalah kehilangan yang tak pernah tergantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun